Berisi Alkitab dan Renungan Harian Kristen

Selasa

Trilogi Perkawinan Kristiani

Penulis : Eka Darmaputera

PEMBICARAAN mengenai Hukum ke-7 Dasa Titah, "JANGAN BERZINAH", membawa kita pada masalah PERKAWINAN. Tidak dapat tidak! Pemahaman orang tentang apa itu "berzinah", sangat tergantung pada pemahaman yang bersangkutan tentang apa itu "perkawinan". Tidak ada perkawinan, tidak ada perzinahan. Contohnya, ayam. Ayam biasa bertukar-tukar pasangan. Entah berapa kali sehari. Tapi berzinahkah ia?


Menurut ajaran Reformasi, lembaga "perkawinan" terletak pada ranah (= realm) "Orde Penciptaan" (= Order of Creation). Apa artinya? Artinya, pertama, ialah, bahwa "perkawinan" itu diciptakan dan dikehendaki Allah, sejak awalnya Ia sudah ada dalam rancang-bangun penciptaan Allah, sejak "dari sono-nya".

Ini berbeda dengan, misalnya, lembaga manusiawi lain yang disebut "negara". Menurut Alkitab, "negara" baru direstui Allah setelah dosa dan karena dosa ( Bnd. 1 Samuel 8:1-9). Mengatakan bahwa "perkawinan" termasuk dalam "orde penciptaan", berarti mengatakan bahwa - apa pun yang kemudian terjadi -- perkawinan itu pada hakikatnya baik, suci, diberkati.

Kedua, mengatakan bahwa "perkawinan" termasuk dalam "orde penciptaan" , juga berarti mengatakan, bahwa ia diciptakan dan dikehendaki Allah bagi semua. Semua orang ciptaan-Nya. Tidak hanya bagi sekelompok orang tertentu.

Implikasi teologisnya adalah, tidak hanya pernikahan orang-orang Protestan, dan yang dilakukan di gereja-gereja Protestan saja, yang bisa disebut sebagai "perkawinan". Ghozali tidak boleh dicap "berzinah" dengan Chotimah, hanya karena perkawinan mereka dilangsungkan di KUA. Ong Bun Teng tidak boleh dianggap "kumpul kebo" dengan Tjhie Sam Sioe, hanya sebab mereka menikah di kelenteng, tidak di gereja.

* * *

SEBUAH perkawinan adalah "sah", bila ia "sah" menurut hukum. Gereja tidak mengesahkan perkawinan. Gereja hanya "sekadar" memberkati serta meneguhkan pernikahan warganya, yang terlebih dahulu telah disahkan oleh negara.

Konon, untuk menyungguhkan ajarannya yang terkesan "menentang arus" ini, Martin Luther dengan sengaja. hanya menikah di depan pejabat negara. Dengan itu, ia seolah-olah ingin mempermaklumkan, " Dengan ini, pernikahanku toh tidak jadi berkurang keabsahannya. Baik di hadapan Tuhan, maupun di depan manusia".

Untuk pengetahuan Anda, keyakinan itulah yang membuat gereja-gereja Protestan di Indonesia sebenarnya mengalami kesulitan mendasar, sehubungan dengan ketentuan UU Perkawinan yang berlaku di negara kita, -- yang nota bene memang sudah kontroversial sejak awal kelahirannya. Mengapa?

Sebab, di satu pihak, UU Perkawinan menetapkan, bahwa perkawinan harus "sah" terlebih dahulu secara agama, baru kemudian bisa "dicatat" oleh negara. Di lain pihak, ajaran Protestan mengatakan yang sebaliknya: bahwa perkawinan mesti "sah" dulu di depan negara, baru gereja dapat merestui serta meneguhkannya.

Sebab bagaimana mungkin gereja "memberkati" sebuah perkawinan yang belum sah? Atau "meneguhkan" sebuah perkawinan yang secara resmi belum ada?

Sedang mengabsahkannya? Ini lebih mustahil lagi! Sebab "gereja" bukanlah sebuah lembaga hukum. "Gereja" juga bukan sebuah lembaga negara. "Gereja" adalah sebuah lembaga keagamaan. Mengesahkan sebuah perkawinan, berarti merampas apa-apa yang merupakan "hak" dan "otoritas" lembaga lain, d.h.i. "negara". Dan urusan pun akan jadi lebih pelik, bila sebagai konsekuensinya, "gereja" yang harus mengabsahkan "perkawinan", harus juga menentukan keabsahan "perceraian".

* * *

TETAPI walaupun, seperti diuraikan di atas, "perkawinan" bersifat universal, ini sama sekali tidak berarti bahwa yang disebut "perkawinan kristiani" itu tidak ada. Perkawinan Yohanes dengan Maria bisa saja sama sahnya dengan perkawinan antara Wayan dan Ketut. Tapi juga amat berbeda!

Perbedaan itu terletak pada asas-asasnya. Sebuah "perkawinan kristiani" bukanlah sekadar perkawinan antara dua orang kristen. Melainkan sebuah perkawinan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kristen. Perkawinan Yohanes dan Maria tidak serta merta adalah sebuah "perkawinan kristen". Baru bisa disebut begitu, apabila Yohanes dan Maria benar-benar menjalankan hidup bersama mereka berdasarkan "asas-asas perkawinan kristen". Karena itu penting sekali kita mengetahui karakteristik asas-asas tersebut.

Mengenai ini, perkenankanlah saya hanya berbicara mengenai apa-apa yang saya anggap paling pokok saja. Yaitu bahwa, ibarat bemo atau bajaj yang memiliki tiga roda, sebuah perkawinan kristen juga punya tiga (= trilogi) asas pokok. Tiga asas tersebut adalah: (a) asas monogami; (b) asas kesetiaan ( = fidelitas); dan (c) asas seumur hidup (= indisolubilitas). Sebuah perkawinan kristen adalah perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri, yang untuk seumur hidup mereka, saling mengikatkan diri dalam ikatan kasih-setia.

Yang perlu saya tekankan adalah, bahwa yang terpenting dari karakteristik ini bukanlah masing-masing asas itu secara individual, melainkan bahwa tiga asas tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Ini penting saya kemukakan, karena ada orang yang dengan "licik"nya membenarkan diri dengan memanfaatkan asas-asas itu, sekali pun perbuatannya jelas-jelas merupakan pelanggaran.

Misalnya, kasus pak Sastro Kempul. Dengan bangganya ia selalu mengatakan, betapa dengan segenap hati ia menjunjung tinggi asas monogami. "Saya tidak pernah punya istri lebih dari satu orang", katanya.

Tapi apa yang ia lakukan? Setiap kali ia jatuh hati kepada perempuan lain, maka diceraikannyalah istri yang "satu-satu"nya itu, untuk digantikan kedudukannya oleh istri yang baru, yang juga "satu-satu"nya. Pak Kempul menjalankan asas "monogami" tapi melanggar asas "kesetiaan" dan "asas seumur hidup".

Pak Joni Kemplu lain lagi. Ia mengklaim diri sebagai penganut prinsip "monogami" dan juga pembela asas "seumur hidup". Karena itu, katanya, "Seumur hidup saya, saya tidak akan pernah menceraikan istri saya yang satu-satunya! Swear!". Tapi ia bermain "gelap-gelapan" dengan entah berapa banyak perempuan lain.. Pak Kemplu tidak lulus tes asas yang kedua, yaitu asas "kesetiaan".

* * *

ADA lagi tiga komponen yang juga amat erat saling terkait, di mana "perkawinan" adalah salah satu komponennya. Inilah TRILOGI yang kedua: saling keterkaitan antara CINTA, SEKS, dan PERKAWINAN.

Asas ini, saya akui, kini telah dianggap usang. Tak sesuai lagi dengan gaya hidup moderen. Sebab orang moderen justru cenderung memisahkan ketiganya. "Seks", misalnya, dianggap sebagai sebuah entitas yang berdiri sendiri. Boleh dinikmati sebagai "seks".

Tanpa perlu dikait-kaitkan dengan "cinta". Dan tanpa perlu harus dihubung-hubungkan dengan "perkawinan". "Seks untuk seks".

Di mata orang moderen, "perkawinan" juga begitu. Tidak hina, ganjil atau nista, bila seorang Hasoloan "menikah" dengan Tarida, tapi "cinta"nya untuk Kemala, sedang "seks"nya dinikmati bersama dengan Tuti dan Rini dan Evi dan Sandra.

Lalu "cinta"? "Cinta" tentu masih ada. Lihat saja sinetron-sinetron kita - entah berapa banyak yang bertemakan "cinta"! Tapi tunggu dulu. Bila orang-orang muda sekarang berbicara tentang "cinta" - apa sebenarnya maksud mereka? Menurut kesan saya, sekarang ini padanan kata untuk "cinta" adalah: "tertarik" atau "terpikat" atau "timbul berahi", atau macam-macam lagi. Tapi yang pasti, tidak perlu terarah ke "perkawinan". Mungkin terarah ke "seks", tapi "seks" tak selalu mesti ekspresi "cinta".

* * *

DALAM perspektif kristiani, tiga komponen tersebut tidak boleh dipisah-pisah atau dipiliah-pilah. "Seks" dalam pandangan kristen bukanlah sesuatu yang tabu, hina dan kotor.

Kenikmatan seksual adalah anugerah Tuhan - bahkan salah satu anugerah Tuhan yang terbesar, yang - meniru bunyi sebuah iklan -- "membuat hidup benar-benar hidup"!

Ya! Tapi di mana letak kenikmatan seksual yang paling puncak, dan daya tarik seksual yang paling indah? Jawabnya: ketika kegiatan seksual merupakan ekspresi "cinta" dan dilaksanakan oleh suami - istri dalam konteks "perkawinan" yang berbahagia. Ini, saudara, yang benar-benar ruaaarr biasa!

"Seks" tanpa "cinta" tentu saja bisa tetap menyenangkan dan memberi kenikmatan tersendiri.. Tapi kesenangan dan kenikmatan yang cuma menyentuh permukaan. Tidak memberi kepuasan yang mendalam.

"Seks" di luar konteks "perkawinan" amat boleh jadi mampu memberikan suasana petualangan yang nikmat dan menegangkan. Tapi percayalah, ia pasti tidak memberi ketentraman jiwa.

Bahkan yang lebih sering, ia melahirkan rasa bersalah yang mengganggu serta penyesalan yang panjang.

Karena trilogi tersebut, kita menolak ide "hidup bersama" di luar pernikahan. Gaya hidup ini memisahkan "seks" dan "cinta" dari "perkawinan". Dan sebaliknya, juga karena trilogi tersebut, kita menolak dilaksanakannya "perkawinan" dengan motivasi-motivasi lain di luar cinta yang murni dan "seksualitas" yang benar. Misalnya memaksakan perkawinan untuk menutup aib atau untuk memperoleh keuntungan.

Source : glorianet.org

Share: