Berisi Alkitab dan Renungan Harian Kristen

Kamis

Mengasihi Hingga Sakit, Memberi Hingga Tak Tersisa

 Penulis : Lesminingtyas


Beberapa minggu yang lalu hidup saya dibuat pontang-panting oleh Uwa; pembantu yang mengasuh si bungsu Mika. Nenek tua itu kembali sakit. Saya pun membawa Uwa ke dokter praktek yang berjarak kurang lebih 50 meter dari rumah. Menurut dokter, tekanan darah Uwa cukup tinggi, yaitu 180/110. Namun saya cukup tenang karena dokter berjanji akan memberikan obat penurun tekanan darah.


Sehari setelah berobat ke dokter, kondisi Uwa justru semakin memburuk. Sorenya, sepulang saya dari kantor, Uwa mengeluh pusing. Saya pun segera memapahnya untuk kembali ke dokter. Belum juga keluar pintu rumah, hidung Uwa mengeluarkan darah segar. Saya pun tetap memapah Uwa menuju tempat praktek dokter. Walaupun tempat praktek dokter tidak terlalu jauh, namun badan Uwa yang lebih tinggi dan lebih besar yang menyandar tak seimbang ke badan saya, membuat langkah kaki saya terseok-seok. "Ternyata memang sangat berat jika Ãâ€Å¡Ãƒ‚´pasakÃâ€Å¡Ãƒ‚´ lebih besar dari pada tiang" pikir saya dalam hati. Sebagian berat badan Uwa yang ditimpakan ke pundak kiri saya, membuat tangan kiri serasa lumpuh. Sampai-sampai pundak dan dada kiri saya dibanjiri darah segar pun, saya tidak merasakan apa-apa lagi. Hanya bau anyir yang menyengat yang membuat saya tidak nyaman. Sebenarnya saya sangat jijik dengan darah, tetapi malam itu tidak ada pilihan lain.


Saya mulai cemas ketika ruang praktek dokter itu gelap gulita. Dari papan nama dokter saya tahu bahwa praktek tersebut baru dibuka jam 20.00. Melihat darah yang mengucur deras dan kondisi badan Uwa yang sangat lemah, saya tidak yakin Uwa bisa bertahan kalau harus menunggu 2 jam lagi. Dengan tertatih-tatih, saya memapah Uwa kembali ke rumah dan mendudukkannya di kursi teras.


Untuk memberikan pertolongan pertama, saya mencoba menundukkan kepala Uwa dan menyiramnya dengan air kran. Seperti biasa, Uwa marah-marah karena kedinginan. Saya pun mencoba dengan cara lain. Pontang-panting, saya berlari ke sana ke mari bak orang kesurupan untuk mencari daun sirih. Sayang sekali tak seorang tetanggapun yang menanam sirih. Tidak ada cara lain, kecuali membawa Uwa ke klinik. Namun untuk meminta bantuan tetangga rasanya tidak mungkin karena semua warga sedang menjalankan sholat maghrib.


Karena darah Uwa terus membanjiri teras, tidak ada pilihan lain selain lari ke perempatan jalan untuk memanggil ojek. Saya mencarter 2 ojek untuk membawa Uwa ke klinik 24 jam. Karena darah Uwa masih terus mengalir, tukang ojek meminta kain untuk menutup hidung Uwa. Tanpa pikir panjang, Dika langsung memberikan sarung kesayangannya.


Karena klinik 24 jam hanya berjarak kurang lebih 2 km, saya tidak menitipkan anak-anak kepada tetangga. Saya pikir Dika sudah cukup besar untuk menjaga adiknya barang 15-30 menit. Saya hanya berpesan kepada Dika untuk menemani adiknya dengan tenang selama saya pergi. Saya berjanji kepada anak-anak untuk segera pulang sambil membawa lauk untuk makan malam. Dokter di klinik 24 jam itu sangat sigap. Dalam hitungan detik, sarung tangan telah membalut kedua tangannya. Dokter itu siap memasukkan tampon ke lubang hidung Uwa. Wajah dokter itu mulai tegang ketika satu tampon yang dimasukkannya langsung terdorong keluar oleh derasnya darah dari hidung Uwa. Dua tampon dicoba dimasukkan ke satu lubang hidung Uwa sekaligus, tapi masih mental juga. Tidak sampai 5 menit memberikan pertolongan, dokter itupun menyerah dan meminta saya untuk segera membawa Uwa ke rumah sakit besar.


Saya bingung sekaligus panik karena tidak ada satu orang dewasa pun di rumah yang menjaga anak-anak. Saya juga bingung dan merasa tidak mampu untuk membawa Uwa sendirian ke rumah sakit. Karena tukang ojek yang saya carter masih ada di situ, saya pun meminta salah satunya untuk menemani saya ke rumah sakit besar. Saya dan dokter memapah Uwa ke pinggir jalan, sementara tukang ojek mencari angkot untuk dicarter ke rumah sakit. Karena saya tidak enak hati mengotori baju dokter saya menyangga seluruh berat badan Uwa yang sudah mulai lemas itu dengan bahu saya. Darah Uwa pun mulai mengalir sampai ke pakaian dalam saya. Jijik sekali rasanya.


Kira-kira 5 menit, tukang ojek itu kembali dengan angkot kosong yang siap mengantar kami ke rumah sakit. Dokter yang tidak mau saya bayar itu pun membantu saya mengangkat Uwa masuk ke dalam angkot.


Selama di perjalanan saya dan tukang ojek yang sebelumnya tidak saya kenal itu mengapit Uwa. Ketika sopir angkot menanyakan rumah sakit mana yang akan kami tuju, saya tidak segera menjawab. Sebaliknya, saya meminta pendapat sopir angkot dan tukang ojek untuk memilih rumah sakit. Sebenarnya rumah sakit langganan keluarga saya tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi tarifnya tergolong mahal.


Sambil membiarkan keduanya berdiskusi, saya menelpon dan mengirim SMS ke semua kakak dan orang tua saya. Saya berharap mereka memberikan komitmen untuk membantu biaya, sehingga saya bisa memilih rumah sakit yang terdekat. Namun, hingga rumah sakit langganan saya terlewati, tidak ada seorang kakak pun yang menyatakan kesanggupanya untuk membantu pembiayaan Uwa.


Tangan kanan saya masih terus menyangga Uwa sedangkan tangan kiri sibuk mengirim SMS untuk mengabari anak-anak Uwa dan memintanya datang ke Bogor. Saya berharap setelah masuk rumah sakit, perawatan Uwa sudah menjadi tanggung jawab dokter dan anak-anaknya, sehingga saya tinggal memikirkan biayanya saja. Namun saya harus puas dengan jawaban anak-anak Uwa yang tidak bersedia datang dan menimpakan tanggung jawab seluruhnya kepada saya.


Saya berhenti memainkan ponsel ketika tukang ojek itu meminta saya memilih 2 alternatif rumah sakit pemerintah yang ditawarkannya. Rumah sakit pertama memang cukup murah, tetapi letaknya agak menjorok ke dalam sehingga untuk menengoknya saya harus berjalan kaki agak jauh. Supaya saya bisa menengok Uwa sepulang dari kantor, saya pun memilih rumah sakit kedua yang lebih mahal sedikit tetapi terletak persis di pinggir jalan. Walaupun saya sudah memutuskan rumah sakit yang akan kami tuju, tetapi perjalanan tidak bisa dipacu karena malam itu angkot masih memadati jalanan hingga kota kami layak disebut sebagai "kota angkot" . Saya mulai panik ketika nafas Uwa mulai tersendat-sendat. Saya kuatir kalau-kalau Uwa menghembuskan nafas di dalam angkot. Sambil tangan kiri menyangga kain sarung untuk menadahi darah Uwa yang terus mengalir, tangan kanan tetap menahan badan Uwa.


Rasa dan bau badan saya sudah tak karuan. Saya yang sore itu belum sempat mandi dan masih mengenakan baju kerja, benar-benar harus bermandi darah. Bau anyir dan rasa jijik mulai merata di sekujur tubuh saya. Melihat Uwa terkulai lemas, saya pun semakin panik. Jantung saya bergerak lima kali lebih cepat karena rasa takut yang amat sangat. Saya mencoba kembali mengambil ponsel dari saku celana saya yang sudah mulai basah oleh darah. "Pak, tolong cepat datang. Uwa kayaknya sudah nggak kuat !" saya menelpon bapak saya setengah merengek.


Ayah saya pun menjawab "Mintalah pertolongan Tuhan! Bapak akan segera berangkat ke Bogor" bapak mencoba menenangkan saya. Bapak yang tahu betul bahwa saya tidak tahan mengahadapi orang mati, tidak mungkin tega membiarkan saya menghadapi Uwa sendirian. Saya mencoba berdoa sambil berharap bapak akan datang secepatnya "Tuhan, sekiranya Engkau ingin memanggil Uwa, panggilah! Tapi kalau masih boleh menawar, tolong terlebih dulu kirimkan satu saja penolong untuk saya !"


Melihat kondisi Uwa yang terus melemah dan jalanan yang masih macet, berkali-kali saya berbisik di telinganya "Uwa, minta kekuatan dari Tuhan Yesus, ya!" Kalau Uwa diam saja, tak bosan-bosan saya membisikinya berulang-ulang hingga Uwa menganggukkan kepala sambil mulutnya lirih menyebut nama Tuhan Yesus.


Begitu angkot yang kami tumpangi masuk ke halaman RS, tukang ojek itu meminta saya mendaftar ke UGD. Saya pun mengiyakannya dan langsung meloncat ke luar dan berlari menuju bagian pendaftaran UGD. Tukang ojek bersama sopir angkot mengangkat Uwa masuk UGD.


Sementara Uwa ditangani dokter dan juru rawat di UGD, saya membayar sewa angkot dan meminta tukang ojek untuk tetap tinggal menemani saya. Satu hal yang ada dalam pikiran saya, kalaupun Uwa meninggal, masih ada tukang ojek yang menemani saya mengurus jenazahnya.


Dalam keadaan panik, saya sempat kena marah petugas administrasi karena waktu ditanya umur dan nama suami Uwa, saya tidak tahu. Dengan sok kuasa ia menakut-nakuti saya "Kalau tidak ada suaminya, kita tidak bisa menolongnya?" "Maaf Bu, sejak kecil saya tidak tahu siapa suaminya. Memangnya kenapa harus ditanyakan suaminya?" tanya saya tak mengerti. "Kalau tidak ada suaminya, siapa yang akan bertanggung jawab?" katanya ketus. "O..jadi yang dibutuhkan bukan suaminya, tapi orang yang bertanggung jawab khan? Kalau cuma itu, saya akan berusaha untuk bertanggung jawab" jawab saya merendah.


Mungkin karena melihat saya yang hanya mengenakan sandal jepit dan celana panjang yang kelupaan masih saya gulung mirip orang kebanjiran, petugas administrasi itu mulai meragukan saya. Terlebih badan dan pakaian saya yang tak layak dan menebar aroma tak sedap. "Nih lihat, harus mbayar segini ! Apakah Teteh sanggup?" tanyanya ragu. Petugas itu semakin ragu ketika melihat dompet yang sudah saya kuras hingga ke receh-recehnya, tetap belum memenuhi sejumlah uang yang diminta. Saya minta ijin keluar sebentar untuk meminjam uang kepada tukang ojek itu. Akhirnya saya pun bisa memenuhi uang yang diminta itu setelah tukang ojek bersedia menguras seluruh isi dompetnya.


Hati saya mulai lega ketika Uwa sudah ditangani dokter. Namun rasa lega itu mulai surut ketika dokter jaga yang super jutek itu memanggil saya dan bertanya. "Situ anaknya, ya?" Belum sempat saya menjawab, dokter itu kembali menunjukkan kejutekannya "Kenapa ibunya ditinggalkan sendiri? Jagain dong! Pegangin tuh tampon di hidungnya!" kata dokter itu sambil menyerahkan beberapa gulung tampon dengan kasar "Di sini banyak pasien sedangkan dokter cuma satu, jadi yang seperti ini harus dilakukan oleh keluarga pasien sendiri!" sambungnya ketus. "Apakah tidak ada cara lain untuk menghentikan pendarahannya, Dok?" tanya saya pelan. "Mau dengan cara apa? Menghentikan pendarahan orang yang sudah terlalu tua dan hipertensi seperti ini sangat sulit ! Tunggu saja sampai berhenti dengan sendirinya !" jawabnya tak ramah. "Berapa tensinya sekarang dok? Kemarin 180/110" saya ingin tahu. "Pembuluh darahnya pecah karena hipertensi. Sekarang tensinya 140/90" jawab dokter tanpa memalingkan wajah ke arah saya.


Walaupun sudah 1 jam di rumah sakit, hidung Uwa masih terus memancarkan darah. Karena posisi Uwa benar-benar telentang, darahnya mulai keluar dari mulut dan mengalir ke mana-mana. Sarung kesayangan Dika sudah tidak berwarna lagi, dan berubah menjadi hitam pekat oleh darah. Saya pun membuang sarung itu ke tong sampah. Karena sudah tidak ada lagi kain untuk mengelapnya, saya melepas baju hangat Uwa.


Setengah jam kemudian Uwa sadar. Pertama kali yang ditanyakan Uwa ketika sadar adalah baju hangat kesayangannya. Karena sudah basah kuyup dengan darah yang beraroma anyir, saya pun meminta injin Uwa untuk membuang menyusul sarung Dika di tong sampah. Dalam keadaan tidak berdaya, Uwa masih saja marah. Supaya tidak terdengar oleh pasien-pasien lain di UGD, saya pun berbisik "Sudah lah, besok saya belikan lagi baju hangat yang kayak gitu empat sekaligus!"


Walapun Uwa ngedumel nggak karuan, tangan kiri saya masih memegangi tampon, sementara tangan kanan terus mengelap darah Uwa yang "ngacai" dari mulutnya. "Tuhan, mengapa Engkau uji saya seberat ini?" keluh saya.


Ketika mata saya melirik, mendapati bahwa jam di ruang UGD telah menunjukkan pukul 22.00. Saya panik sekali memikirkan anak-anak saya yang belum makan dan berada di rumah tanpa pengawasan orang dewasa. Saya takut anak-anak menyalakan kompor sendiri untuk membuat makanan gara-gara kelaparan. Saya juga kuatir anak-anak lupa mengunci pintu dan jendela. Banyak sekali kekuatiran saya akan keadaan anak-anak di rumah. Terlebih angka kejahatan di Bogor cukup tinggi.


Saat juru rawat melintas di dekat saya, saya pun meminta bantuan untuk mengurus Uwa karena saya akan menelpon ke rumah. Saya segera lari ke luar. Sebelum menelpon anak-anak, saya berusaha meminta kesabaran tukang ojek untuk tetap menemani saya. Tukang ojek itu pun tampaknya mengerti kekalutan saya. Sambil membersihkan sisa-sisa darah yang mengering di baju, saya mencoba menelpon ke rumah. Lama sekali telepon tidak diangkat. Rasanya ingin sekali saya terbang ke rumah supaya tahu apa yang terjadi.


Kurang lebih satu menit telepon di rumah baru diangkat "Halo, ibu ya? Ibu kok nggak pulang-pulang ...cari duit sampai malam ya?!" tanya Mika yang merasa yakin kalau yang menelpon itu saya. Tanpa menjawab pertanyaan Mika, saya langsung memberi instruksi kepada Mika "Dik, tolong teleponnya kasih Mas Dika!" Dengan setengah cedal Mika menjawab "Mas Dika udah tidul" "Bangunkan Mas Dika, bilang ada telepon dari ibu!" perintah saya kepada Mika yang umurnya baru 3 tahun. "Ya,ya,ya.dadah ibu!" jawab Mika langsung menutup telepon.


Saya kembali mencoba menelpon berkali-kali, tapi tidak ada yang mengakat. Saya menduga Mika sedang berusaha membangunkan Dika yang memang agak susah dibangunkan. Kira-kira 3 menit saya mencoba melepon, akhirnya Dika pun mengangkat telepon. "Ibu kok lama sekali sih? Dika sama adik sudah kepalaran, tapi ibu nggak pulang-pulang. Tadi waktu ibu pergi adik nangis terus, sampai muntah. Dika repot banget nich ngurusin adik. Ibu sekarang di mana sih?" tanya Dika dengan nada kesal. "Dika, ibu masih di rumah sakit. Sekarang pintu dan jendelanya di.....(tit!)" belum sempat memberikan pesan, telepon saya mati karena baterainya habis.


Melihat saya mondar-mandir mencari telepon umum, tukang ojek itu meminjamkan ponselnya kepada saya. Begitu telepon tersambung, tanpa membuang waktu saya berpesan "Dika, makan seadanya dulu. Semua pintu dan jendela..(tit)!" ponsel si tukang ojek itu pun nasibnya sama dengan ponsel saya. Saat itu saya benar-benar tidak bisa menahan tangis. Saya benar-benar mengkuatirkan keadaan anak-anak di rumah. Saya ingin sekali untuk segera pulang ke rumah, tetapi dokter belum mengijinkan saya pergi.


Ketika saya masuk ke UGD lagi, darah Uwa sudah tidak terlalu deras. Juru rawat menyuntikkan beberapa macam obat melalui selang infuse. Uwa juga sudah bisa memegangi sendiri tampon di hidungnya. Beberapa menit kemudian saya dipanggil oleh kasir untuk membayar biaya tindakan dan obat-obatan. Karena saya tidak membawa uang tunai, saya meminta tukang ojek untuk menunggui Uwa, sementara saya mengambil uang di ATM.


Malam itu saya berjalan keluar dari komplek RS sambil menangis. Saya menangis untuk banyak hal. Selain mengkuatirkan keadaan anak-anak di rumah, juga mengkuatirkan keadaan Uwa di rumah sakit. Ditambah lagi, saya yang terbiasa mengelola gaji dengan perencanaan yang ketat, rasanya cukup dipusingkan dengan pengeluaran besar yang tidak ada dalam rencana ERT (Ekonomi Rumah Tangga) saya. Kalau saya mengambil uang gaji di ATM BNI, pasti kehidupan kami selama sebulan serta tagihan rumah, telepon, listrik, asuransi pendidikan dan tabungan kesehatan anak-anak pasti kacau balau. Kalau saya mengambil tabungan pendidikan di ATM Lippo, saya kuatir proses kelanjutan sekolah Dika ke SMP terganggu. Akhirnya malam itu saya putuskan menguras semua tabungan kesehatan anak-anak dari ATM BCA. Saya pun naik becak menembus gelapnya malam kota Bogor menuju ATM BCA yang jaraknya kurang lebih 500 meter dari RS.


Setelah saya menyelesaikan pembayaran di kasir, juru rawat memanggil saya untuk mendatangani persetujuan rawat inap untuk Uwa. Karena juru rawat itu tahu kalau Uwa adalah pembantu saya, ia pun menyarankan saya untuk memilih kamar kelas 3 saja. Saya pun tidak mampu berpikir lagi kecuali mengiyakannya dan berbisik "Tolong ya Mas, usahakan semua urusan malam ini cepat selesai, karena saya harus segera pulang. Anak-anak saya yang masih kecil, sekarang ini di rumah sendirian". "Ibu telpon tetangga dulu untuk minta tolong mereka menjaga anak-anak ibu" juru rawat yang ramah itu menyarankan. "Boro-boro nelpon tetangga Mas, mau nelpon anak sendiri saja tidak bisa karena baterainya habis" jawab saya masih tegang.


Supaya cepat selesai, saya membantu juru rawat itu membawa berkas status pasien dan mendorong kereta dorong ke kamar perawatan di kelas 3, sementara juru rawat menarik kereta itu. Saya kaget ketika tiba-tiba juru rawat menarik kereta pasien masuk ke ruang isolasi. Saya pun deg-degan dan dengan reflek bertanya "Lho, lho,lho! Mas, memangnya penyakit ini menular, kok sampai harus diisolasi?" "Bukan karena menular Bu, tapi kalau pasien ini dicampur dengan pasien lain, dikuatirkan yang lain pada takut atau jijik" jawab juru rawat itu. "Tapi kan kasihan Mas, ibu ini sudah tua sekali dan tidak ada yang menjaga. Kalau nanti terjadi sesuatu dan tidak ada orang yang melihatnya, bagaimana?" tanya saya sambil meminta belas kasihan.


Uwa yang sudah dibaringkan di ruang isolasi kembali kami angkat ke kereta dorong untuk dipindahkan ke barak RPU supaya bisa sekamar bersama belasan pasien lain. Ketika Uwa sudah berada di barak pasien, saya pun berpamitan kepada juru rawat sambil menitipkan Uwa. Tiga juru rawat yang bertugas malam itu dengan kompak memarahi saya. Saya pun berusaha merendah dan memohon pengertian para perawat itu. "Maaf Suster, saya tidak mungkin menungguinya di rumah sakit. Saya juga butuh ganti baju dan mengambilkan baju ganti untuk pasien!" saya memberikan alasan. "Gila ! Ibu ini nggak punya otak, kali ya? Masak tega meninggalkan ibunya yang sudah berumur 67 tahun sendirian di rumah sakit" kata salah satu juru rawat.


Sebenarnya saya ingin menjawab "Justru karena saya punya otak, saya harus pulang untuk mengurus anak-anak saya" Namun karena saya tidak ingin berdebat, sayapun menjawab dengan halus "Maaf Suster, saat ini anak-anak saya di rumah tidak ada yang menjaga. Saya meninggalkan anak yang berumur 3 tahun hanya bersama kakaknya yang masih kecil juga! Tolonglah Bu, mohon pengertiannya. Saya akan bertanggung jawab semua biaya pengobatan untuk pasien, tapi saya tidak mungkin ditahan disini. Besok pagi sebelum saya berangkat kerja, saya akan ke sini mengatar baju ganti untuk pasien"


"Memangnya suami ibu kemana? Ibu nggak punya suami ya?" tanya seorang perawat ketus. Ingin sekali saya menjawab "It is not your business!". Namun belum sempat saya menjawab, seorang perawat dengan sinis berkata "Kalau ibu nggak mau mengurus sendiri, sebaiknya pindahkan pasien ke ruang VVIP yang mahal, jangan cuma di kelas 3 yang murah-murah seperti ini dong!"


Sedetik kemudian perawat dari UGD itu mengedip-ngedipkan matanya memberi isyarat kepada saya. Saya menterjemahkan isyarat tersebut dengan "uang". Tanpa menunggu lagi, saya pun menarik beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari dompet. Juru rawat UGD itupun menganggukkan kepala tanda setuju. Tanpa banyak bicara, saya pun meletakkan beberapa lembar uang itu di meja yang ada di depan ketiga perawat yang beramai-ramai "mengadili saya".


"Ibu, bukan kami tidak mau mengurus pasien Bu, tapi kalau tidak ada keluarga yang menunggu, siapa yang harus bertanggung jawab kalau pasien meninggal?" kata seorang perawat yang mulai lembut. "Ya, kalau memang Tuhan menghendaki pasien itu meninggal, kita mau apa lagi?" jawab saya pelan. "Benar nich, kalau ada apa-apa sehingga pasien meninggal, Ibu tidak menyalahkan atau menuntut kami?" tanya perawat yang lain tak kalah lembutnya. "Kalau Tuhan yang memanggil, kenapa saya harus protes?!" jawab saya pelan "Malam ini saya mohon bantuan Suster di sini, karena saya harus pulang. Besok pagi saya akan ke sini membawakan baju-baju yang bersih untuk pasien. Kalau malam ini ada apa-apa atau butuh sesuatu, Suster bisa menelpon saya kapan saja" saya menjamin. "Jadi, kalau nanti kami telpon malam-malam, ibu tetap besedia datang ke mari khan?!" tanya perawat lainnya dengan sopan. "Saya janji Suster! Paling tidak, kalau saya sudah sampai di rumah, saya bisa menitipkan anak-anak dulu ke tetangga" jawab saya pelan.


Sebelum saya meninggalkan RS, suster di kamar perawatan meminta saya untuk menebus obat yang harganya hampir satu juta rupiah. Saya pun kembali mengeluarkan uang lebih dari yang seharusnya dan menyerahkan kepada perawat yang mau membantu saya membelikan obat untuk Uwa di apotik. Saya melakukan hal itu karena bagi saya waktu sangat penting untuk segera tahu keadaan anak-anak.


Akhirnya jam 22.30 saya bisa meninggalkan rumah sakit. Saya pun bersama tukang ojek segera naik angkot menuju klinik 24 jam dimana motor milik tukang ojek itu dititipkan. Dari klinik 24 jam itu saya diantar ke rumah oleh tukang ojek.


Betapa kagetnya saya ketika saya mendapati pintu pagar dan pintu rumah terbuka lebar. Saya minta tolong tukang ojek untuk menemani saya sampai di teras. Jantung saya berdebar-debar ketika tak satupun anak saya yang menyahut panggilan saya. Saya hampir berteriak ketika mendapati Mika yang tertidur di karpet tak jauh dari muntahannya. Dika sendiri tertidur di lantai. Ketika saya yakin tidak terjadi sesuatu pada anak-anak saya, saya pun memberikan uang kepada tukang ojek sebagai ganti penghasilannya malam itu. Sambil memanasi air untuk mandi, saya mengelap muka dan kaki anak-anak dan memindahkan mereka ke kamar masing-masing. Melihat wajah anak-anak yang tidak berdaya, saya merasa sangat bersalah karena telah menelantarkan mereka. Saya pikir kalau sampai terjadi sesuatu pada mereka, saya tidak bisa mengampuni saya sendiri. Malam itu saya menangis, menyesali diri karena tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Terlebih lagi ketika melihat sisa mie instant yang Dika rebus tidak sempurna dengan rantang, hati saya sangat miris membayangkan betapa mereka sangat kelaparan menunggu saya yang tidak segera pulang malam itu.


Ketika air sudah panas, saya pun membuka baju untuk mandi. Saya kaget sekali ternyata baju yang saya kenakan malam itu adalah baju putih terbaru yang saya beli dengan harga cukup mahal. Saya pun harus merelakan baju kesayangan yang baru dua kali saya pakai itu tidak seputih dulu lagi. Saya yang biasanya merawat dan mencuci baju kesayangan dengan tangan saya sendiri, mau tidak mau harus merelakan baju tersebut di cuci oleh pembantu/tukang cuci karena saya tidak tahan dengan bau anyir yang menyengat.


Sampai tengah malam saya tidak bisa tidur. Di satu sisi saya masih terus merasa bersalah karena telah menelantarkan anak-anak. Di sisi lain saya juga menyesal karena saya merasa tidak bisa memperlakukan Uwa dengan kasih. Saya sangat menyesal karena selama menyangga tubuh Uwa di angkot, hati saya tidak merelakan 100% Uwa bersandar di dada saya. Selama di angkot saya masih merasa jijik dan bersikap seperti robot yang harus menjalankan tugas kemanusiaan. Apa yang saya lakukan terhadap Uwa sesungguhnya bukan kasih yang keluar dari hati yang paling dalam. Saya hanya memperlalukan Uwa masih sebatas memperlakukannya sebagai pembantu, bukan selayaknya saya melayani Tuhan.


Saya menangis karena kuatir kalau-kalau Uwa meninggal dan saya belum sempat menebus kesalahan dengan memperlakukannya seperti yang Tuhan Yesus kehendaki. Di tengah-tengah kegalauan hati saya, tiba-tiba telepon berdering. Badan saya lemas sekali. Sebelum sampai di meja telepon, saya terjatuh. Tangis saya kontan meledak "Tuhan Yesus, tolong saya ! Jangan panggil Uwa sekarang karena saya belum memperlakukannya seperti yang Engkau kehendaki !" teriak saya yang yakin bahwa telepon itu dari RS.


"Hallo" kata saya sambil menangis. "Jangan nangis, besok pagi bapak berangkat ke Bogor. Tolong kamu cari orang yang bisa dibayar untuk mengurus Uwa karena tidak ada satu pun anaknya yang mau mengurus Uwa" kata bapak saya. "Iya, ya, ya ! Bapak cepat ke sini ya, anak-anak terlantar nich" kata saya gugup karena saking takutnya


Semalaman saya tidak bisa tidur karena bingung membagi waktu untuk esok paginya. Saya juga bingung karena esoknya saya harus menyelesaikan bahan presentasi yang akan dibawa boss ke luar negeri. Saya juga bingung bagaimana harus menjaga Mika sampai pembantu yang satunya datang jam 12.00, sedangkan Uwa memerlukan baju bersih dan selimut secepatnya. Malam itu saya benar-benar kalut dan menangis di depan komputer sambil curhat dan minta dukungan doa dari beberapa teman milis. Sebelum mematikan komputer, saya pun berdoa "Tuhan Yesus, ampuni kesalahan saya hari ini. Saya tidak tahu berapa lama lagi Engkau uji saya, tapi saya percaya Engkau sendiri yang akan memampukan saya melewati ujian-unjian itu"


Kurang lebih jam 03.30 anak-anak saya bangunkan. Setelah mandi dengan air panas yang saya siapkan, Dika menyiapkan sendiri sarapan pagi dan bekal makanan yang akan di bawa ke sekolah. Saya sendiri menyiapkan saparan untuk Mika dan bekal makan siang saya untuk di kantor nanti. Setelah selesai memandikan Mika saya segera bergegas pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Uwa, sembari pergi ke kantor. Sebelum melangkah ke luar rumah, saya menelpon seorang tetangga yang akan menolong saya untuk menjaga Mika selama saya tinggal bekerja.


Pagi itu saya harus meninggalkan Mika dengan sarapannya. Walaupun saya tahu kalau Mika makan tanpa pengawasan selalu menggunakan tangan kirinya hingga makanan tumpah ke mana-mana mirip makanan ayam, tetapi tidak ada pilihan lain, karena saya tidak mungkin mengambil cuti dadakan. Hanya Dika yang masih bisa menemani Mika sambil menunggu mobil jemputan sekolahnya datang pada pukul 06.00 nanti. Sebenarnya saya dan para tetangga sudah berusaha merayu Mika untuk tinggal di rumah tetangga selama Dika sekolah, tetapi Mika selalu menjawab "Mika nggak mau..Mika sudah punya rumah sendiri". Itulah sebabnya beberapa tetangga bersepakat untuk menemani Mika di rumah secara bergiliran.


Jam 04.30 saya cepat-cepat pergi ke rumah sakit, supaya jam 05.30 saya bisa sampai di tempat pemberhentian bis jemputan langganan saya. Sayang sekali begitu sampai di rumah sakit banyak sekali tugas kemanusiaan yang harus saya lakukan. Selain mengganti baju Uwa yang kotor penuh darah yang sudah mengering, saya juga harus mengelap badan Uwa dengan air hangat yang disediakan oleh RS. Jijik sekali rasanya. Selain saya tak pernah membayangkan akan memandikan seorang pembantu, saya juga tidak siap menggunakan peralatan rumah sakit yang biasa dipakai beramai-ramai itu.


Hati saya sungguh tidak siap melihat sikap Uwa yang semakin sulit dimengerti. Rasanya sudah sewajarnya kalau Uwa berterima kasih setelah saya menelantarkan anak-anak demi mengurus Uwa. Saya sungguh tidak menyangka ketika Uwa marah-marah di depan belasan pasien yang lain ketika saya kurang tepat meletakkan pispot sehingga kencing Uwa sedikit tercecer. Walaupun perut saya sangat mual saat membuang kencing Uwa ke kamar mandi, namun Uwa masih saja menuntut lebih.


Karena Uwa sudah bisa saya dudukkan, saya mencoba melepas stagen dan kain panjang yang dikenakannya. Ketika saya salah melilitkan kain panjang ke tubuh Uwa, dengan arah terbaik dari yang seharusnya, Uwa kembali memarahi saya. Bahkan ketika saya jongkok membetulkan kain di bagian kaki Uwa, Uwa menggerakkan kakinya dengan kasar hampir mengenai muka saya. Hampir saja kesabaran saya habis. Ujung bibir saya hampir tak mampu menahan kalimat yang rasanya pantas untuk saya lontarkan "Emang lu siapa?"


Ingin rasanya saya mengembalikan Uwa pada posisi yang seharusnya, yaitu sebagai pembantu. Namun, lagi-lagi saya teringat bahwa ini adalah ujian dari Tuhan. Segala sesuatu Tuhan ijinkan terjadi pada diri saya, demi kebaikan saya sendiri. Hampir saja mengingatkan bahwa Uwa adalah pembantu dan saya adalah majikan yang harus dihormatinya sehingga tidak ada kewajiban bagi saya untuk mengabdi kepadanya. Namun ketika kesombongan itu muncul, tiba-tiba saya merinding membayangkan jika saya tidak sepenuh hati melayani Uwa, jangan-jangan wajah Uwa tiba-tiba berubah menjadi wajah Tuhan Yesus.


Karena terlalu banyak permintaan Uwa, pagi itu saya tidak bisa cepat-cepat meninggalkan RS. Saya pun harus pergi ke kantor dengan kendaraan umum karena sudah ketinggalan bis jemputan. Sudah bisa diduga, kartu absent saya hari itu merah. Tidak main-main, karena 1 menit keterlambatan berarti bonus akhir tahun dipotong sepersekian pesennya.


Selama di kantor, saya tidak tahu lagi apakah saya ini tidur sambil duduk atau duduk sambil tidur. Terpaksa saya harus doping dengan multivitamin dan kopi susu supaya mata bisa diajak melek. Saya sengaja menyelesaikan bahan presentasi yang akan dibawa boss ke luar negeri, supaya waktu selebihnya bisa saya gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas kesekretarisan yang agak ringan.


Rasanya makan siang hari itu tidak lagi bisa saya nikmati. Targetnya hanya memasukkan makanan ke dalam perut. Saking ngantuknya, waktu istirahat makan siang yang hanya 30 menit itu saya gunakan 10 menit untuk makan siang dan selebihnya saya pakai untuk tidur di sofa.


Sepulang kerja, sebenarnya saya ingin mampir ke RS seperti yang Uwa minta. Tapi perasaan saya tidak enak karena ingin segera melihat keadaan anak-anak di rumah. Begitu sampai di rumah, saya baru sadar bahwa paginya saya terlalu buru-buru pergi hingga lupa menyiapkan makanan siang untuk anak-anak. Untung saja tetangga yang menemani Mika berinisiatif memasakkan nasi dan menggoreng telor untuk anak-anak.


Malam itu saya tidak punya energi lagi untuk menyiapkan makan malam. Seperti biasanya kalau lagi malas masak, saya meminta Dika membeli japcay di depot mie bangka. Ketika saya menunggui anak-anak makan, saya tertidur di meja makan saking lelahnya. Rencana menjenguk Uwa ke RS malam itu pun batal. Resikonya, saat saya menjenguk ke RS nanti Uwa pasti tak henti-hentikan "menyanyikan" lagu wajib yang semuanya berisi kekecewaan dan kemarahan. Tapi apa hendak dikata, untuk mengontrol anak-anak cuci kaki dan gosok gigi saja, malam itu saya sudah tak sanggup.


Esok paginya, seperti biasa saya membuatkan sarapan untuk anak-anak. Untuk makan siang, saya hanya menyiapkan nasi putih karena saya yakin bapak datang dari kampung membawakan lauk buatan ibu seperti biasanya. Namun karena bapak pergi terburu-buru, dugaan saya kali itu meleset. Bapak yang tidak pernah menuntut dilayani itupun mengajak Dika memasak dari bahan-bahan mentah yang ada di kulkas.


Sore itu saya berencana pergi ke RS setelah mengurus anak-anak dan menyambut kedatangan bapak. Begitu selesai memandikan Mika, saya dan anak-anak menemani bapak minum teh di ruang tamu. Anak-anak saya biarkan "gelendotan" di badan mbah kakungnya, sementara saya merebahkan badan di sofa sambil mendengar kabar keluarga dan suasana di kampung dari bapak. Entah sampai mana saya mendengar cerita bapak, tapi tertidur pulas saat mendengar kisah seru yang bapak ceritakan, memang sudah biasa terjadi sejak saya kecil dulu. Bapak yang tahu kebiasaan buruk saya, memang sudah maklum. Terlebih lagi sore itu saya benar-benar lelah.


Kira-kira jam 20.30 saya dibangunkan Dika karena ada telepon dari RS. Masih setengah tertidur saya menggapai gagang telepon. Saya benar-benar kaget ketika perawat yang menelpon itu meminta saya untuk datang ke RS malam itu juga. "Ada apa suster? Memangnya pasien dalam keadaan gawat?" tanya saya panik. "Bukan Bu! Malam ini pasien memerlukan obat suntik yang harus ibu beli sendiri di apotik" jawab si penelpon. "Apakah tidak bisa dibelikan dulu oleh rumah sakit, terus nanti dimasukkan ke dalam tagihan" saya menawar. "Maaf Bu, untuk pasien kelas 3 tidak ada pelayanan semacam itu. Kalau keluarga Ibu dirawat di VVIP, kami bisa membantu. Untuk pasien kelas 3, keluarga pasien harus membeli obat sendiri" jawab si penelpon kurang bersahabat. "Bagaimana kalau misalnya saya datang besok pagi?" saya masih menawar. "Maaf Bu, ini emergency. Dokter minta obat tersebut harus segera disuntikkan karena kondisi pasien sangat lemah dan HBnya tinggal 6 saja" kata si penelpon dengan nada memerintah. "Kalau begitu, bisa nggak obat tersebut cepat dibelikan dulu dan malam ini juga saya akan datang membayar semua harga obat" saya memohon kebijaksanaan. "Maaf Bu, obatnya sangat mahal dan ibu harus membeli sendiri di apotik. Kami tidak bisa membantu" jawabnya singkat.


Begitu menutup telepon, badan saya rasanya makin loyo saja. Walaupun perjalanan ke RS cuma kira-kira 30 menit, rasanya saya menghadapi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Sambil terdiam menahan segala rasa yang berkecamuk, saya mengambil jaket water proof di lemari gantung. Saya memang biasa mengenakan jaket tersebut sebagai pengganti payung supaya saya bisa bergerak lebih cepat dan lincah walaupun dalam keadaan hujan.


Ketika saya melewati teras di mana anak-anak dan mbah kakungnya sedang makan mie tek-tek, hati saya rasanya kelu sekali. Rasanya saya sudah terlalu banyak mengabaikan mereka hanya untuk mengurus Uwa di RS. Wajah saya yang lelah menahan tangis terbaca oleh bapak. "Lakukan segala sesuatu dengan suka cita. Kalau memang masih lelah, duduk-duduk sebentar sambil makan mie panas biar agak rileks" bapak berusaha menghibur. Saya hanya menggeleng.


Saya sudah berusaha menutupi kesesakan hati saya, tetapi akhirnya toh tidak berhasil menahan air mata. "Nggak usah nangis! Semua ini ujian dari Tuhan dan kamu harus setia menerima dan menjalaninya" bapak menasehati. "Apakah ujian-ujian yang selama ini belum cukup?" tanya saya lirih sambil menangis. "Belum! Masih banyak yang harus kamu pelajari dalam hidup ini" jawab bapak. "Dari semua anak bapak, tidak ada yang diuji Tuhan seberat saya. Saya ingat sekali, dulu waktu saya TK, saya tidak bisa bermain sebebas kakak-kakak yang lain. Waktu itu justru saya yang paling bontot yang harus melayani ibu buang air di pispot selama ibu sakit" kata saya sambil terisak, mengingat masa lalu di mana saya harus drop out dari TK.


"Dulu semua kakakmu kan sudah bersekolah, jadi cuma kamu yang masih TK yang bisa membolos" bapak meminta pengertian. "Tapi, waktu lulus SMA dulu saya juga dikorbankan tidak bisa ikut bimbingan tes dan seleksi UNPTN karena harus merawat Pak Dhe. Kakak-kakak yang lebih disayang Pak Dhe saat sehat, justru bisa cuek" saya mencoba mengingat betapa berat ujian yang saya alami. "Itulah ujian dari Tuhan, supaya kamu bisa belajar melayani orang yang sehari-harinya tidak menyayangimu" bapak terus berusaha menghibur. "Sekarang ini saya benar-benar ibarat sudah jatuh tertimpa tangga juga. Badan saya rasanya sudah remuk, anak-anak tidak terurus, masih juga harus mengurus Uwa yang nggak tahu diri. Kakak yang dulu selalu disayang Uwa, tidak ada perhatian sama sekali. Semua masalah sekarang ditimpakan pada saya " saya memuntahkan kelelahan batin saya. "Kamu nggak boleh bicara seperti itu, pandanglah semua itu sebagai ujian dari Tuhan untuk mengajar kamu supaya menjadi pribadi pengampun yang tegar dan tangguh. Karena kamu sudah melewati ujian-ujian yang belum pernah kakak-kakakmu alami, bapak justru merasa tenang dan lebih siap meninggalkan kamu kalau bapak dipanggil Tuhan nantinya. Kalau bapak meninggal, rasanya bapak tidak ragu lagi meninggalkan kamu yang lebih tangguh dari kakak-kakakmu. Nah, kamu seharusnya mensyukuri ujian-ujian berat itu sebagai berkat Tuhan" bapak berusaha membesarkan hati saya.


Setelah sedikit lega, saya menitipkan anak-anak pada bapak. Tak menunggu waktu lagi, saya bergegas ke rumah sakit. Malam itu saya menembus gelapnya malam yang diselimuti gerimis dank abut tipis.


Sesampainya di RS saya langsung menuju ke ruang perawat untuk mengambil resep yang ditinggalkan dokter. Tak menunggu lama, begitu kertas resep itu di tangan, saya melangkah secepat kilat menuju apotik yang berjarak kurang lebih 100 meter dari kamar perawatan. Saya duduk di kursi tunggu sambil melepas kepenatan yang hampir tak berujung. Saya kaget setengah mati ketika petugas apotik menyebutkan sejumlah rupiah yang harus saya bayar. Jantung saya hampir copot karena malam itu saya harus kembali menguras habis seluruh isi dompet saya.


Sebenarnya begitu obat sudah ditebus, saya ingin sekali segera meninggalkan lingkungan yang memuakkan itu. Saya benar-benar malas menengok Uwa. Tapi apa daya, saya tidak punya ongkos untuk pulang ke rumah. Tidak ada pilihan lain selain menjenguk Uwa di kamar perawatan sekaligus meminjam uang untuk ongkos pulang. Saya tahu persis Uwa pasti punya simpanan uang di stagennya.


Sudah bisa diduga, saya kembali kena damprat Uwa, gara-gara datang terlalu malam. Omelan Uwa kali ini cukup keras hingga didengar oleh semua pasien di barak itu. Dengan gaya memerintah, Uwa menyuruh saya mengambil pispot dan melayaninya untuk buang air kecil. Dengan gaya "setengah budek" saya melayani Uwa tanpa berucap sedikitpun. "Kalau saja ada kenalan di sekitar rumah sakit, malam ini saya nggak perlu meminjam uang Uwa dan kena semprot gaya majikan tuwa itu" pikir saya dalam hati.


Saya tidak tahu apa yang diceritakan Uwa kepada sesama pasien dan orang-orang yang menunggu di bangsal itu. Namun, kepergian saya malam itu diiringi dengan tatapan sinis dan komentar tak mengenakkan. Seorang ibu jutek dengan logat Sundanya yang kental menyindir saya sebagai anak durhaka yang tidak memperlakukan orang tuanya dengan baik. Walaupun sedikit gondok, saya masih berusaha melangkah dengan kepala tegak. "Ya, justru karena saya bukan anak durhaka, malam ini saya harus pulang untuk mengurus orang tua saya sendiri, yang sejak kedatangannya jauh-jauh dari kampung tidak saya sambut sebagaimana mestinya" kata saya dalam hati.


Hari-hari berikutnya, saya hampir seperti robot yang harus bangun jam 03.30 untuk menyiapkan sarapan anak-anak dan air panas untuk mandi. Sebelum berangkat ke kantor, saya harus ke RS untuk melayani Uwa buang air kecil dengan pispot, memandikan dengan waslap dan mengganti pakaiannya. Walaupun saya sudah berusaha melakukan melebihi dari yang seharusnya, tetapi Uwa selalu membalasnya dengan kemarahan dan ketidakpuasannya. Belasan pasang mata juga ikut mengadili saya sebagai anak yang tidak tahu diri. Cemoohan dan sindiran dari orang-orang yang sok tahu, rasanya sudah terlalu biasa di telinga saya.


Begitu juga sore harinya sekembalinya dari kantor, saya langsung ke RS, sementara bapak yang berumur 70 tahun lebih, yang seharusnya saya urus justru sibuk mengurus anak-anak saya. Hati saya sebenarnya berontak. Ya, saya berontak untuk banyak hal. Paling tidak saya berontak karena tidak bisa memperlakukan bapak dengan selayaknya. Saya juga berontak karena semua pengorbanan saya hanya dibalas dengan kekecewaan dan kemarahan Uwa di depan umum.


Rasanya, saya tidakkuat lagi menghadapi sikap Uwa yang arogan itu. Sekali pernah terlintas dalam pikiran saya untuk membiarkan Uwa terlantar di RS, toh dia bukan "siapa-siapa" saya. Namun, setiap benih kebencian itu muncul di hati saya, bayang-bayang wajah Tuhan Yesus selalu muncul di wajah Uwa. Akhirnya, apapun yang terjadi, bagaimanapun perlakukan Uwa dan sikap orang-orang di bangsal itu, saya coba abaikan. Saya selalu men-setting otak saya dengan berikir "Sebodo teuing orang mau bikin apa, yang penting gua melakukan yang Tuhan kehendaki. Biar saja orang jungkir balik, tapi saya mau tetap setia pada Matius 25 : 40"


Memang perlu persiapan khusus setiap pagi dan sore saat hendak menjenguk Uwa di RS. Paling tidak saya harus menyiapkan hati, "menelan pil budek" dan menyiapkan muka hingga setebal tembok. Kadang-kadang saya melucu dalam hati untuk menghibur diri sendiri. Ketika seorang penunggu pasien di sebelah Uwa melepas kepergian saya dengan sindiran sinis "Uh, cantik-cantik kok nggak punya perasaan! Kok tega-teganya menelantarkan orang tuanya sendirian" Saya pun berkelakar dalam hati "Masih mending saya cantik biarpun nggak punya perasaan. Dari pada kamu, udah nggak cantik, nggak punya perasaan pula! Karena saya nggak tega menelantarkan orang tua saya sendiri, makanya saya nggak mungkin menunggui emaknya orang lain di rumah sakit"


Entah malam yang keberapa ketika seorang perawat menyodorkan selembar resep lagi yang harus saya tebus di apotik. Lagi-lagi saya bingung harus mengambil uang dari pos mana. Tabungan kesehatan anak-anak sudah ludes untuk membayar obat-obatan yang sebelumnya. Mau tidak mau saya meminjam dulu seperempat tabungan pendidikan yang saya siapkan untuk biaya Dika masuk SMP. Saya berharap kakak-kakak saya bisa membantu biaya pengobatan Uwa sehingga tabungan pendidikan Dika tidak terganggu.


Setelah mengambil sebagian dari persediaan biaya kelanjutan sekolah Dika, saya minta pendapat bapak. Bapak pun menyarankan saya menghubungi keempat kakak saya yang pernah diasuh oleh Uwa. Malam itu saya mengirim SMS kepada semua kakak saya untuk mengajak mereka memikirkan biaya pengobatan Uwa. Sayang sekali, hanya kakak keempat yang membalas SMS dan mengatakan bahwa kondisi keungannya tidak memungkinkan. Saya pun maklum karena keadaan ekonomi kakak keempat memang tidak lebih baik dari saya.


Ketika ketiga kakak yang cukup berlebih dalam hal ekonomi tidak membalas SMS, saya pun mencoba cara yang lebih sopan dengan menelponnya. Sayang sekali, puluhan ribu pulsa terbuang percuma karena kakak pertama merasa uangnya belum cukup untuk menambah satu mobil lagi untuk memenuhi garasinya. Saya dan bapak hanya geleng-geleng kepala melihat kakak pertama yang masih saja membeli mobil baru, padahal mobil yang telah ada melebihi jumlah anggota keluarganya.


Saya mencoba meminta belas kasihan kakak kedua yang sejak kecil selalu dimanja dan dinomorsatukan oleh Uwa. Kakak kedua yang baru mendapat fee puluhan juta dari kliennya ternyata juga masih merasa kekurangan uang karena harus membayar sejumlah kapling untuk melengkapi 3 rumah yang telah dikoleksinya.


Dengan menangis saya mencoba mengemis belas kasihan kakak ketiga yang suaminya punya jabatan di polantas yang hampir bisa dikatakan tinggal membalikkan tangan untuk mendapat uang dalam jumlah yang cukup. Kakak ketiga yang punya hobby mengkoleksi perhiasan itupun tidak peduli dengan Uwa. Dengan gaya pengemis yang memelas saya mencoba meyakinkan kakak bahwa bantuannya sangat berarti untuk saya dan anak-anak, bukan untuk Uwa. Walaupun urat malu saya telah putus, demi mendapatkan bantuan kakak ketiga, namun kakak hanya menawarkan pinjaman dalam bentuk emas. Saya yang tidak tahu fluktuasi harga emas, tentunya sangat takut kalau-kalau nanti saat saya harus mengembalikan pinjaman, harga emas tiba-tiba melonjak naik.


Tak kurang akal, saya mencoba menelpon kembali kakak kedua yang sedang sibuk mencari kapling. Paling tidak saya ingin meminjam uangnya sebelum kakak menemukan kapling yang cocok. Sayang sekali malam itu kakak mengaku tidak punya otioritas sama sekali atas uang miliknya. Kakak menawarkan saya menempuh prosedur yang panjang dan berbelit-belit untuk meminjam uang lewat istrinya yang tak segan-segan berbicara pedas kepada iparnya.


Kakak kedua yang sering tinggal di rumah saya itupun memberi alternatif kepada saya untuk mengambil semua tabungan pendidikan Dika. Dengan perasaan yang sudah tak karu-karuan, saya hanya menjawab lirih. "Kalau semua tabungan Dika diambil, dengan uang apa lagi Dika masuk SMP? Ironis sekali kalau Dika sampai tidak bisa melanjutkan ke SMP hanya gara-gara saya menolong orang yang seharusnya kita tanggung bersama" Tanpa memperhitungkan perasaan saya sebagai ibu, kakak saya pun menawarkan jalan keluar yang membuat hati saya tercabik-cabik "Kalau tidak bisa membayar uang pangkal ke SMP, Dika bisa dititipkan di rumah bapak, biar disekolahkan di kampung" Mendengar saran kakak, tangis saya kontan meledak. "Masa sih, gara-gara menolong orang, anak-anak saya harus berpencar-pencar?!" tangis saya setengah memprotes.


Dika yang tidak tahu menahu pembicaraan saya dengan kakak, tiba-tiba mendatangi saya sambil bertanya "Bu, kenapa Dika dan adik-adik harus berpencar? Memangnya kalau ibu meminjam uang ke saudara, Dika dan adik-adik harus ditahan untuk jaminan?" Mendengar kata-kata Dika hati saya semakin teriris. "Tuhan, ujian apa lagi yang akan Engkau berikan? Apakah saya belum cukup merelakan apa yang saya miliki untuk menolong orang lain? Apakah kerelaan saya ini akan berbuah penderitaan untuk anak-anak saya? Apakah saya harus merelakan seluruh tabungan Dika, sementara saya tidak punya kepastian dari mana biaya masuk SMP untuk Dika? Tuhan, selama ini saya sudah mengekang nafsu saya hanya supaya bisa menabung untuk anak-anak. Haruskah kedisplinan saya untuk menabung justru hanya membuahkan hasil yang berantakan yang serba tidak teratur ini?"


Bapak yang tahu apa yang sedang saya tangisi, berusaha menguatkan hati saya "Ini adalah pelajaran dari Tuhan untuk menguji seberapa besar kerelaan kamu untuk berkorban" "Ini nggak adil, dari dulu saya selalu berkorban menolong orang lain. Apakah pengorbanan saya belum cukup? Apakah saya harus mengorbankan masa depan Dika hanya untuk menolong seorang pembantu?" saya memprotes sambil terisak. "Ini memang ujian yang berat. Tapi kalau kamu berhasil melewatinya, Tuhan sendiri yang akan menyiapkan masa depan kamu dan anak-anakmu" dengan gaya seorang majelis, bapak menasehati.


Walaupun otak saya blank malam itu, saya bertekad untuk menanggung semua biaya Uwa, tanpa harus mengemis belas kasihan kepada orang lain. Untuk biaya pendidikan Dika, saya pun bertekad untuk tidak meminta belas kasihan atau meminjam kepada sanak saudara. "Saya harus bisa sendiri dan hanya boleh mengandalkan Tuhan" begitu janji saya dalam hati.


Saya mencoba bersikap "legowo" menerima segala sesuatunya dengan suka cita dan rasa syukur supaya beban terasa lebih ringan. Namun tidak semudah membalikkan tangan. Ujian yang lebih berat masih Tuhan berikan kepada saya. Ketika Uwa sudah diperbolehkan pulang, saya hampir pinsan melihat tagihan yang jumlahnya mencapai 8 digit. Malam itu, saya tidak hanya menguras habis tabungan pendidikan Dika di Lippo, tetapi juga harus menguras uang gaji di BNI. Bukan hanya fisik saya yang harus mondar-mandir ke dua lokasi ATM, hati saya pun kacau balau tak menentu. Selain memikirkan biaya masuk SMP yang tinggal satu-dua bulan lagi, saya juga pusing memikirkan bagimana saya akan menyambung hidup sampai gajian bulan berikutnya tiba.


Namun entah mengapa, walaupun sisa uang di dompet kurang dari seratus ribu, saya bangga sekali bisa membayar lunas tagihan RS tanpa bantuan dari anak-anak kandung Uwa maupun keempat kakak kandung saya.


Dengan perasaan gagah bak pahlawan menang perang, saya menghampiri Uwa yang sudah bersiap-siap pulang. Semula saya pikir Uwa akan bangga dengan pengorbanan saya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Uwa kecewa karena kakak saya tidak bisa menjemput dengan mobilnya sehingga Uwa terpaksa saya ajak pulang dengan naik angkot. Sebelum meninggalkan bangsal, Uwa sempat marah-marah karena saya tidak membelikannya sandal. Saya sendiri tidak tahu kemana raibnya sandal yang dipakai Uwa dari rumah. Hilangnya sandal di bangsal itupun Uwa timpakan sebagai kesalahan saya.


Untuk menghindari tatapan mata para penunggu pasien yang tidak ramah, saya pun merelakan sandal saya untuk Uwa. Mau tidak mau, malam itu saya harus menahan jijik menapaki lorong RS yang tidak begitu bersih itu. Tidak tanggung-tanggung, ternyata halaman RS yang harus kami lalui sangat becek sehingga kaki saya mirip kaki petani dari sawah. Orang Sunda yang melihat saya pasti sependapat bahwa keadaan itu benar-benar bikin "geuleuh".


Karena di sekitar RS saya tidak menemukan penjual sandal, saya pun tetap "nyeker" menyeberang jalan untuk mencari angkot yang bisa kami carter sampai di rumah. Tak pelak lagi, setiap sopir angkot selalu memandangi kaki saya yang "udik"; tak beralas sedikitpun lengkap dengan celana panjang yang saya lipat mirip orang kebanjiran.


Sesampainya di rumah, saya tidak bisa langsung istirahat. Saya harus memanaskan air untuk merendam kaki yang mulai gatal-gatal. Perut saya pun kembung karena cukup lama telanjang kaki. Karena banyak tuntutan yang mengharuskan saya gergerak cepat bekas jahitan di lutut saya pun terasa nyeri kembali. Selama ini rasa nyeri tersebut saya hiraukan karena tak sebanding dengan beban yang harus saya selesaikan. Badan saya meriang dan perut saya pun mual. Rasanya kekuatan saya hanya tinggal beberapa persen saja dan mungkin tinggal sejengkal lagi jarak saya dengan sakit.


Ketika bapak menanyakan berapa total uang yang saya keluarkan untuk Uwa, saya hanya menjawab sambil berlinang air mata "Semua gaji, tabungan kesehatan anak-anak dan tabungan pendidikan Dika ludes. Mungkin malam ini, saya adalah orang yang paling miskin di dunia. Cuma ini yang saya punya" kata saya sambil menunjukkan 3 lembar uang dua puluh ribuan "Saya nggak tahu bagaimana saya harus menghidupi anak-anak selama 25 hari lagi, sampai gajian tiba" sambung saya masih dengan berlinang air mata.


Bapak pun menjawab santai "Anak-anakmu itu milik Tuhan, percayalah Tuhan sendiri yang akan memeliharanya. Tuhan itu tidak tidur, tidak kurang bijaksananya dan tidak akan membiarkan anak-anakNya kelaparan" Saya pun merasa tenang karena saya yakin bapak tidak NATO (no action, talk only). Bapak tidak hanya pintar menasehati tetapi juga aktif bertindak. Saya tahu persis, bapak tidak hanya siap dengan nasehat dan doa-doanya, tetapi juga dengan pengorbanan tenaga dan materi yang dimilikinya. "Kira-kira berapa yang kamu butuhkan untuk menyambung hidup sampai kamu gajian? Segini cukup?" tanya bapak sambil menyodorkan segepok uang sisa pensiunnya. "Untuk makan saja sih cukup. Hanya saja, semua uang gaji sudah terpakai untuk membayar rumah sakit, padahal tagihan rumah, telepon, listrik dan SPP Dika belum terbayar" jawab saya ringan, tanpa beban sedikitpun. "Kalau begitu, besok bapak cepat-cepat pulang kampung supaya bisa menjual kopi dan cengkeh yang ada di gudang untuk kamu" bapak menjamin "Nanti untuk biaya masuk SMP Dika, bapak bisa gadaikan SK pensiun ke bank" lanjut bapak. Mendengar kesanggupan bapak, saya kembali menangis. Saya benar-benar tidak tega merampas hak bapak untuk menikmati uang pensiunnya.


Menjelang tidur, saya mencoba-coba membuka email. Sungguh tak terduga, ada beberapa tawaran side job yang saya cukup besar honornya. Saya yang beberapa hari hampir tidak pernah tertawa, malam itu benar-benar girang. "Pak, ternyata berkat Tuhan mengalir pada waktunya. Bapak nggak usah buru-buru pulang kampung, karena saya dapat kerjaan tambahan di beberapa tempat sampai malam hari. Bapak nggak perlu repot-repot membantu keuangan saya. Yang saya perlukan saat ini cuma bantuan tenaga dan perhatian bapak menemani Dika belajar dan menjaga adik-adiknya selama saya tidak ada di rumah" jawab saya kegirangan.


Walaupun semua anak kandung Uwa dan keempat kakak saya yang pernah diasuh Uwa, lepas tangan atas biaya pengobatan Uwa yang mencapai 8 digit, saya masih tetap merelakan puluhan ribu pulsa saya untuk mengabari mereka satu persatu. Kala itu saya tidak lagi mengabarkan kesusahan dan mengemis belas kasihan mereka. Saya hanya ingin menyampaikan kabar suka cita bahwa Uwa sudah sehat dan saya pun telah keluar dari masalah keuangan.


Kakak kedua yang sejak kecil paling dimanja oleh Uwa, waktu itu justru menawarkan rencana yang tidak berpihak pada Uwa. Kakak yang tahu bahwa gaji Uwa masih saya simpan di rekening khusus, menyarankan saya untuk mengambilnya sebagian sebagai penggantian biaya RS. Kalau menilik hubungan saya dengan Uwa sebagai pembantu dan majikan, saran kakak memang masuk akal. Hanya saja saya tidak mau menodai kerelaan saya yang telah saya lakukan untuk Tuhan. Saya tidak mau memotong sesenpun gaji Uwa karena itu murni hak Uwa. Soal tanggung jawab pengobatan Uwa, itu murni urusan saya dengan Tuhan yang mengijinkan hal tersebut terjadi dalam kehidupan saya.


Ujian untuk "memurnikan kerelaan" juga saya lalui ketika para tetangga menjenguk Uwa baik di RS maupun di rumah. Walaupun perhatian, kunjungan dan bantuan finansial dari tetangga merupakan salah satu "tuaian" dari apa yang saya tabur selama ini, tetapi saya tidak mau mengurangi kebahagiaan Uwa. Sebenarnya Uwa juga ingin memberikan semua amplop berisi uang dari para tetangga. Namun dari lubuk hati yang paling dalam, sedikit pun tidak ada keinginan saya untuk mengambil sumbangan yang diberikan kepada Uwa.


Kakak yang sehari-harinya melihat polah tingkah Uwa yang begitu menyesakkan hati, menyarankan saya untuk segera mengirim Uwa pulang dengan mobil travel. Usul kakak memang sangat realistis karena ia tahu persis ketidaksiapan mental dan keuangan saya bila Uwa tiba-tiba sakit hingga meninggal nanti.


Walaupun sejujurnya Uwa sama sekali sudah tidak memberi manfaat untuk saya dan anak-anak, tetapi saya ingin tetap memperlakukannya sebagai manusia. Sangatlah tidak manusiawi jika saya membiarkan Uwa yang masih dalam masa pemulihan untuk menempuh perjalanan ke Jawa. Selain itu saya pun tidak yakin ada salah satu anak kandung Uwa atau kakak saya yang bersedia memberi tumpangan kepada Uwa.


Bapak yang selalu mengikuti "perjalanan iman" saya, tahu persis pergumulan saya. Beberapa kali bapak mengajak saya untuk "rapat rahasia" di belakang Uwa dan anak-anak saya. Kami berdua mencari cara terbaik untuk memberi tumpangan kepada Uwa hingga akhir hayatnya, tanpa harus menimbulkan gejolak pada kehidupan orang lain.


Saya dan bapak cukup lama untuk memikirkan nasib Uwa selanjutnya. Bapak tahu persis, sebenarnya hanya saya dan bapak yang masih memberi tempat untuk Uwa. Saya memang satu-satunya anak yang super cuek dan sangat memaklumi kekacauan perilaku dan arogansi Uwa. Namun karena beban hidup yang harus saya tanggung sendirian sudah cukup berat, bapak tidak tega menambah beban saya lagi. Rumah bapak sebenarnya paling cocok sebagai tempat Uwa menjalani sisa hidupnya. Hanya saja, ibu yang cenderung reaktif dan emosional, sangat tidak menyukai sikap dan perilaku Uwa yang tidak bisa menempatkan diri. Kalau kami memaksakan Uwa tinggal di rumah orang tua saya, kami justru kuatir kesehatan dan emosi ibu terganggu.


Atas permintaan bapak, saya mencoba menghubungi kembali keempat kakak saya untuk meminta sedikit saja hati mereka supaya mau memberikan tumpangan untuk Uwa. Walaupun bapak sudah siap dengan jawaban mereka, tapi saya tahu di mata bapak tersirat kekecewaan yang mendalam atas sikap kakak-kakak saya. "Bapak tahu, diantara kelima saudaramu, cuma kamu yang mengerti kasih Kristus. Walaupun hidup kamu secara materi jauh di bawah kakak-kakakmu, tapi cuma kamu yang merasa berkelimpahan dan bisa menolong orang lain" kata bapak dengan mata yang berkaca-kaca.


Setelah bedoa dan bergumul cukup lama, bapak pun menawarkan jalan keluar yang kami rasa paling baik. Bagaimanapun keadaannya, saya harus tetap merawat Uwa hingga pulih dan benar-benar siap untuk menempuh perjalanan ke Jawa. Otomatis saya harus menambah tenaga pembantu untuk merawat Uwa selama masih di rumah saya. Bapak telah memutuskan setelah pulih dan kembali ke Jawa, Uwa akan tinggal bersama para pekerja di rumah kakak pertama yang berjarak kurang lebih 5 km dari rumah orang tua saya. Untuk kebutuhan makan sehari-hari ibu berjanji akan memberikan bahan-bahan mentah yang bisa Uwa olah sendiri. Bapak pun mengingatkan saya untuk memberikan uang "pensiun" setiap bulan untuk Uwa. Walaupun saya tidak boleh besar kepala, tetapi saya tetap bangga karena saya adalah satu-satunya anak yang diminta oleh bapak untuk memberikan uang bulanan buat Uwa.


Setelah 3 minggu Uwa kami rawat di rumah fisiknya pun membaik kembali. Menurut dokter, Uwa cukup kuat untuk menempuh perajalan ke kampung. Uwa pun secara mental sudah siap. Uwa sendiri memang tahu bahwa saya selalu siap membantu siapapun tetapi belum punya kesiapan mental untuk mengurus hari-hari tua Uwa. Dengan berlinang air mata, Uwa memohon "Walaupun aku sudah menghabiskan uang banyak, dan tidak berguna untuk keluarga di sini, mama Dika masih mau kan memberi santunan sampai nanti aku mati? Aku cuma mengandalkan uang kiriman dari Bogor untuk hidup" pintanya memelas.


"Uwa, nggak usah mikir. Nanti semua gaji Uwa saya kasih utuh dan saya tambahi supaya bisa untuk biaya hidup Uwa sampai akhir tahun ini. Nanti libur natal saya tengok Uwa" kata saya sambil menyodorkan uang gaji dan tambahan lainnya. "Jadi semua biaya pengobatan saya ditanggung seluruhnya sama mama Dika?" tanya Uwa berkaca-kaca. Saya pun hanya mengangguk. "Semua kerelaan mama Dika pasti Tuhan perhitungkan. Tidak ada pengorbanan mama Dika yang Tuhan lupakan. Saya berdoa semoga apa yang mama Dika korbankan untuk saya, Tuhan kembalikan berlipat-lipat" sambung Uwa. "Amen!" jawab saya santai tapi mantap.


Walaupun biaya hidup saya untuk sebulan sudah Tuhan sediakan, tetapi saya masih memutar otak bagaimana mencari uang untuk persiapan Dika masuk SMP. Ketika saya cengar-cengir melihat semua kartu ATM yang tak lagi mengeluarkan uang jika digesek, "manajemen kecil" yang menangangi pemasaran buku saya memberikan laporan yang sangat menggembirakan. Buku "TANGAN YANG MENENUN" cetakan 1-2 yang belum sempat dilaunching secara resmi, ternyata laris manis bak kacang goreng. Hasil royalty yang saya dapat rasanya sudah lebih dari cukup untuk membiayai sekolah Dika di SMP.


Tidak berhenti di situ, Tuhan masih memberikan berkat dari royalty untuk cetakan 3-4 yang sama besarnya. Ternyata benar sekali, ketika saya memberikan seluruh apa yang saya miliki dengan penuh kerelaan, Tuhan menggantikannya dengan jumlah yang tak terkira. Namun demikian saya tetap berdoa supaya Tuhan menjaga hati saya sehingga tidak "maruk" dan tetap menjadi seperti yang Tuhan kehendaki. Saya tetap yakin bahwa apa yang Tuhan berikan, bukan untuk saya pribadi. Tuhan mempercayakan berkat itu kepada saya, supaya orang-orang di sekitar saya bisa merasakan kasih Tuhan. Dan akhirnya merekapun memuliakan nama Bapa di Surga.


Ketika saya telah mencapai tingkat "lilo legowo" (rela dengan sepenuh hati) memberikan semua yang saya miliki untuk orang lain, dan tidak mengukuhi berkat yang saya tuai untuk kepentingan diri sendiri, Tuhan pun mengirimkan anak-anakNya untuk menambal lubang-lubang kekurangan saya. Salah satu hamba Tuhan mengirim SMS yang sungguh menguatkan saya "Baca Kel 35 : 20-29 ! Memberi bukan karena kelebihan, bukan pula supaya Tuhan berbuat baik kepada kita. Berilah karean keinginan hati yang rela untuk berbagi"


Tuhan juga memberikan saya seorang teman sekaligus bapak rohani yang semula hanya saya kenal lewat dunia maya, untuk semakin menguatkan keyakinan saya tentang berkat Tuhan. Tidak hanya memberikan dukungan moral, bapak rohani yang bermukim di Holland selalu menawarkan bantuan materi untuk saya. Bahkan bapak rohani saya meyakinkan akan adanya jalan yang sedang dirintisnya supaya suatu saat Dika bisa melanjutkan sekolah di Eropa.


Tuhan memang sungguh luar biasa dan begitu kreatif untuk memelihara saya dan anak-anak. Dari perkiraan dan hitungan matematis manusia, Dika hampir kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMP. Namun ketika kepasrahan saya kepada Tuhan benar-benar total, Tuhan justru memberikan jaminan yang lebih. Tidak hanya jaminan untuk biaya pendidikan di SMP, kemungkinan Dika untuk mendapatkan pendidikan di Eropa pun sudah Tuhan buka.


Ketika "mimpi-mimpi" anak-anak saya harus tertunda karena semua yang ada saya relakan untuk diberikan kepada orang lain, Tuhanpun mengirimkan anak-anakNya untuk menggantikan apa yang tidak bisa saya berikan untuk anak-anak. Ketika mimpi Dika untuk memiliki jam tangan harus saya kalahkan, sebagai anak Dika memang sangat kecewa. Namun sebelum kekecewaan itu mematikan semangat Dika, seorang pendeta senior membawakan oleh-oleh jam tangan dari Singapura untuknya.


Dika sangat girang dengan apa yang ia dapatkan. Perasaan saya pun bercampur aduk antara mensyukuri berkat Tuhan dan terharu melihat ungkapan hati Dika yang disampaikan dalam emailnya kepada pendeta senior itu, sebagai berikut : "Pak terima kasih jamnya. Jamnya bagus sesuai keinginan Dika. Jamnya sudah Dika pakai ke sekolah. Teman-teman ikut kagum. Dika bangga punya jam yang bagus seperti teman-teman lain yang masih punya ayah. Dika mau pakai jam itu sampai selama-lamanya" Ternyata apa yang Dika dapat tidak sekedar jam, seperti yang dimintanya dari saya. Ada kebanggaan tersendiri dalam diri Dika karena jam itu didapatnya dari seorang "bapa".


Source : artikel.sabda.org

Share:

Orang Benar

 Za 4-6;Why 18;Maz 146;Ams 30:21-33


Mazmur 146:8

Tuhan membuka mata orang-orang buta, Tuhan menegakkan orang yang tertunduk, Tuhan mengasihi orang-orang benar. (TB)


Setiap kita pasti setuju kalau Tuhan itu sanggup menyatakan mujizat-mujizat-Nya kepada kita. Setiap yang sakit dapat Tuhan sembuhkan, yang berbeban berat dapat Tuhan berikan kelegaan, yang putus pengharapan juga dapat Tuhan berikan cahaya pengharapan. Hanya saja ketika semua mujizat-Nya menjadi nyata. Sudahkah kita jaga dengan benar sikap hati kita? Jangan kita menjadi lupa akan kebaikan dan mujizat Tuhan yang telah nyata itu. Sebab kalau kita lupa akan Tuhan, bagaimana jika Dia mengambilnya kembali?

Firman-Nya berkata dalam Mazmur 146:8 Tuhan membuka mata orang-orang buta, Tuhan menegakkan orang yang tertunduk, Tuhan mengasihi orang-orang benar.

Bagi yang buta dapat Tuhan nyatakan mujizat kesembuhan. Yang tertunduk juga dapat Tuhan tegakkan. Semua perkara tersebut dapat Tuhan lakukan dengan mudah dan segera. Hal terpenting adalah bagaimana kita menjaga hidup benar serta sikap dan respon yang benar kepada Tuhan. Kasih-Nya tidak akan pernah jauh dari kita, selama kita menjaga hidup kita benar sesuai firman-Nya, maka Dia yang akan terus nyatakan mujizat demi mujizat-Nya kepada kita.

Saat ini, mari kita berdoa kepada Tuhan, naikkan ucapan syukur kita, dan nyatakan kepada Tuhan bahwa hanya Tuhanlah sumber pertolongan kita. Jangan kita ragukan kasihNya kepada umat yang dikasihiNya, yaitu kita. Terus jaga hidup benar, terus berupaya untuk selalu berkenan bagi Tuhan. Sebab hanya kepada-Nya sajalah kita berseru.

Hidup menurut ketetapan-Ku dan tetap mengikuti peraturan-Ku dengan berlaku setia- ialah orang benar, dan ia pasti hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH.


Source : Suka Membaca Alkitab, GBI WTC

Share:

Matius 22

 Matius 22


Perumpamaan tentang perjamuan kawin


1 Lalu Yesus berbicara pula dalam perumpamaan kepada mereka:


2 "Hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja, yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya.


3 Ia menyuruh hamba-hambanya memanggil orang-orang yang telah diundang ke perjamuan kawin itu, tetapi orang-orang itu tidak mau datang.


4 Ia menyuruh pula hamba-hamba lain, pesannya: Katakanlah kepada orang-orang yang diundang itu: Sesungguhnya hidangan, telah kusediakan, lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini.


5 Tetapi orang-orang yang diundang itu tidak mengindahkannya; ada yang pergi ke ladangnya, ada yang pergi mengurus usahanya,


6 dan yang lain menangkap hamba-hambanya itu, menyiksanya dan membunuhnya.


7 Maka murkalah raja itu, lalu menyuruh pasukannya ke sana untuk membinasakan pembunuh-pembunuh itu dan membakar kota mereka.


8 Sesudah itu ia berkata kepada hamba-hambanya: Perjamuan kawin telah tersedia, tetapi orang-orang yang diundang tadi tidak layak untuk itu.


9 Sebab itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai di sana ke perjamuan kawin itu.


10 Maka pergilah hamba-hamba itu dan mereka mengumpulkan semua orang yang dijumpainya di jalan-jalan, orang-orang jahat dan orang-orang baik, sehingga penuhlah ruangan perjamuan kawin itu dengan tamu.


11 Ketika raja itu masuk untuk bertemu dengan tamu-tamu itu, ia melihat seorang yang tidak berpakaian pesta.


12 Ia berkata kepadanya: Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta? Tetapi orang itu diam saja.


13 Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.


14 Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih."


Tentang membayar pajak kepada Kaisar


15 Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan.


16 Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: "Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka.


17 Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?"


18 Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: "Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik?


19 Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu." Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya.


20 Maka Ia bertanya kepada mereka: "Gambar dan tulisan siapakah ini?"


21 Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."


22 Mendengar itu heranlah mereka dan meninggalkan Yesus lalu pergi.


Pertanyaan orang Saduki tentang kebangkitan


23 Pada hari itu datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki, yang berpendapat, bahwa tidak ada kebangkitan. Mereka bertanya kepada-Nya:


24 "Guru, Musa mengatakan, bahwa jika seorang mati dengan tiada meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu.


25 Tetapi di antara kami ada tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin, tetapi kemudian mati. Dan karena ia tidak mempunyai keturunan, ia meninggalkan isterinya itu bagi saudaranya.


26 Demikian juga yang kedua dan yang ketiga sampai dengan yang ketujuh.


27 Dan akhirnya, sesudah mereka semua, perempuan itupun mati.


28 Siapakah di antara ketujuh orang itu yang menjadi suami perempuan itu pada hari kebangkitan? Sebab mereka semua telah beristerikan dia."


29 Yesus menjawab mereka: "Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah!


30 Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.


31 Tetapi tentang kebangkitan orang-orang mati tidakkah kamu baca apa yang difirmankan Allah, ketika Ia bersabda:


32 Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup."


33 Orang banyak yang mendengar itu takjub akan pengajaran-Nya.


Hukum yang terutama


34 Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka


35 dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia:


36 "Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?"


37 Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.


38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.


39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.


40 Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."


Hubungan antara Yesus dan Daud


41 Ketika orang-orang Farisi sedang berkumpul, Yesus bertanya kepada mereka, kata-Nya:


42 "Apakah pendapatmu tentang Mesias? Anak siapakah Dia?" Kata mereka kepada-Nya: "Anak Daud."


43 Kata-Nya kepada mereka: "Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia Tuannya, ketika ia berkata:


44 Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai musuh-musuh-Mu Kutaruh di bawah kaki-Mu.


45 Jadi jika Daud menyebut Dia Tuannya, bagaimana mungkin Ia anaknya pula?"


46 Tidak ada seorangpun yang dapat menjawab-Nya, dan sejak hari itu tidak ada seorangpun juga yang berani menanyakan sesuatu kepada-Nya.


Source : alkitab.mobi

Share:

Amsal 22

 Amsal 22


1 Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas.


2 Orang kaya dan orang miskin bertemu; yang membuat mereka semua ialah TUHAN.


3 Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka.


4 Ganjaran kerendahan hati dan takut akan TUHAN adalah kekayaan, kehormatan dan kehidupan.


5 Duri dan perangkap ada di jalan orang yang serong hatinya; siapa ingin memelihara diri menjauhi orang itu.


6 Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.


7 Orang kaya menguasai orang miskin, yang berhutang menjadi budak dari yang menghutangi.


8 Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana, dan tongkat amarahnya akan habis binasa.


9 Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin.


10 Usirlah si pencemooh, maka lenyaplah pertengkaran, dan akan berhentilah perbantahan dan cemooh.


11 Orang yang mencintai kesucian hati dan yang manis bicaranya menjadi sahabat raja.


12 Mata TUHAN menjaga pengetahuan, tetapi Ia membatalkan perkataan si pengkhianat.


13 Si pemalas berkata: "Ada singa di luar, aku akan dibunuh di tengah jalan."


14 Mulut perempuan jalang adalah lobang yang dalam; orang yang dimurkai TUHAN akan terperosok ke dalamnya.


15 Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya.


16 Orang yang menindas orang lemah untuk menguntungkan diri atau memberi hadiah kepada orang kaya, hanya merugikan diri saja.


Amsal-amsal orang bijak


17 Pasanglah telingamu dan dengarkanlah amsal-amsal orang bijak, berilah perhatian kepada pengetahuanku.


18 Karena menyimpannya dalam hati akan menyenangkan bagimu, bila semuanya itu tersedia pada bibirmu.


19 Supaya engkau menaruh kepercayaanmu kepada TUHAN, aku mengajarkannya kepadamu sekarang, ya kepadamu.


20 Bukankah aku telah menulisnya kepadamu dulu dengan nasihat dan pengetahuan,


21 untuk mengajarkan kepadamu apa yang benar dan sungguh, supaya engkau dapat memberikan jawaban yang tepat kepada yang menyuruh engkau.


22 Janganlah merampasi orang lemah, karena ia lemah, dan janganlah menginjak-injak orang yang berkesusahan di pintu gerbang.


23 Sebab TUHAN membela perkara mereka, dan mengambil nyawa orang yang merampasi mereka.


24 Jangan berteman dengan orang yang lekas gusar, jangan bergaul dengan seorang pemarah,


25 supaya engkau jangan menjadi biasa dengan tingkah lakunya dan memasang jerat bagi dirimu sendiri.


26 Jangan engkau termasuk orang yang membuat persetujuan, dan yang menjadi penanggung hutang.


27 Mengapa orang akan mengambil tempat tidurmu dari bawahmu, bila engkau tidak mempunyai apa-apa untuk membayar kembali?


28 Jangan engkau memindahkan batas tanah yang lama, yang ditetapkan oleh nenek moyangmu.


29 Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina.


Source : alkitab.mobi

Share:

Mazmur 22

 Mazmur 22


Allahku, mengapa Kautinggalkan aku?


1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Rusa di kala fajar. Mazmur Daud. (22-2) Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.


2 (22-3) Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.


3 (22-4) Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel.


4 (22-5) Kepada-Mu nenek moyang kami percaya; mereka percaya, dan Engkau meluputkan mereka.


5 (22-6) Kepada-Mu mereka berseru-seru, dan mereka terluput; kepada-Mu mereka percaya, dan mereka tidak mendapat malu.


6 (22-7) Tetapi aku ini ulat dan bukan orang, cela bagi manusia, dihina oleh orang banyak.


7 (22-8) Semua yang melihat aku mengolok-olok aku, mereka mencibirkan bibirnya, menggelengkan kepalanya:


8 (22-9) "Ia menyerah kepada TUHAN; biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?"


9 (22-10) Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku.


10 (22-11) Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku.


11 (22-12) Janganlah jauh dari padaku, sebab kesusahan telah dekat, dan tidak ada yang menolong.


12 (22-13) Banyak lembu jantan mengerumuni aku; banteng-banteng dari Basan mengepung aku;


13 (22-14) mereka mengangakan mulutnya terhadap aku seperti singa yang menerkam dan mengaum.


14 (22-15) Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku;


15 (22-16) kekuatanku kering seperti beling, lidahku melekat pada langit-langit mulutku; dan dalam debu maut Kauletakkan aku.


16 (22-17) Sebab anjing-anjing mengerumuni aku, gerombolan penjahat mengepung aku, mereka menusuk tangan dan kakiku.


17 (22-18) Segala tulangku dapat kuhitung; mereka menonton, mereka memandangi aku.


18 (22-19) Mereka membagi-bagi pakaianku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubahku.


19 (22-20) Tetapi Engkau, TUHAN, janganlah jauh; ya kekuatanku, segeralah menolong aku!


20 (22-21) Lepaskanlah aku dari pedang, dan nyawaku dari cengkeraman anjing.


21 (22-22) Selamatkanlah aku dari mulut singa, dan dari tanduk banteng. Engkau telah menjawab aku!


22 (22-23) Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah:


23 (22-24) kamu yang takut akan TUHAN, pujilah Dia, hai segenap anak cucu Yakub, muliakanlah Dia, dan gentarlah terhadap Dia, hai segenap anak cucu Israel!


24 (22-25) Sebab Ia tidak memandang hina ataupun merasa jijik kesengsaraan orang yang tertindas, dan Ia tidak menyembunyikan wajah-Nya kepada orang itu, dan Ia mendengar ketika orang itu berteriak minta tolong kepada-Nya.


25 (22-26) Karena Engkau aku memuji-muji dalam jemaah yang besar; nazarku akan kubayar di depan mereka yang takut akan Dia.


26 (22-27) Orang yang rendah hati akan makan dan kenyang, orang yang mencari TUHAN akan memuji-muji Dia; biarlah hatimu hidup untuk selamanya!


27 (22-28) Segala ujung bumi akan mengingatnya dan berbalik kepada TUHAN; dan segala kaum dari bangsa-bangsa akan sujud menyembah di hadapan-Nya.


28 (22-29) Sebab Tuhanlah yang empunya kerajaan, Dialah yang memerintah atas bangsa-bangsa.


29 (22-30) Ya, kepada-Nya akan sujud menyembah semua orang sombong di bumi, di hadapan-Nya akan berlutut semua orang yang turun ke dalam debu, dan orang yang tidak dapat menyambung hidup.


30 (22-31) Anak-anak cucu akan beribadah kepada-Nya, dan akan menceritakan tentang TUHAN kepada angkatan yang akan datang.


31 (22-32) Mereka akan memberitakan keadilan-Nya kepada bangsa yang akan lahir nanti, sebab Ia telah melakukannya.



Source : alkitab.mobi

Share:

Kejadian 22

 Kejadian 22


Kepercayaan Abraham diuji


1 Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: "Abraham," lalu sahutnya: "Ya, Tuhan."


2 Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu."


3 Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya.


4 Ketika pada hari ketiga Abraham melayangkan pandangnya, kelihatanlah kepadanya tempat itu dari jauh.


5 Kata Abraham kepada kedua bujangnya itu: "Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu."


6 Lalu Abraham mengambil kayu untuk korban bakaran itu dan memikulkannya ke atas bahu Ishak, anaknya, sedang di tangannya dibawanya api dan pisau. Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama.


7 Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: "Bapa." Sahut Abraham: "Ya, anakku." Bertanyalah ia: "Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?"


8 Sahut Abraham: "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku." Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama.


9 Sampailah mereka ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Lalu Abraham mendirikan mezbah di situ, disusunnyalah kayu, diikatnya Ishak, anaknya itu, dan diletakkannya di mezbah itu, di atas kayu api.


10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.


11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham." Sahutnya: "Ya, Tuhan."


12 Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku."


13 Lalu Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya.


14 Dan Abraham menamai tempat itu: "TUHAN menyediakan"; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: "Di atas gunung TUHAN, akan disediakan."


15 Untuk kedua kalinya berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepada Abraham,


16 kata-Nya: "Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri--demikianlah firman TUHAN--:Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku,


17 maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya.


18 Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku."


19 Kemudian kembalilah Abraham kepada kedua bujangnya, dan mereka bersama-sama berangkat ke Bersyeba; dan Abraham tinggal di Bersyeba.


Keturunan Nahor


20 Sesudah itu Abraham mendapat kabar: "Juga Milka telah melahirkan anak-anak lelaki bagi Nahor, saudaramu:


21 Us, anak sulung, dan Bus, adiknya, dan Kemuel, ayah Aram,


22 juga Kesed, Hazo, Pildash, Yidlaf dan Betuel."


23 Dan Betuel memperanakkan Ribka. Kedelapan orang inilah dilahirkan Milka bagi Nahor, saudara Abraham itu.


24 Dan gundik Nahor, yang namanya Reuma, melahirkan anak juga, yakni Tebah, Gaham, Tahash dan Maakha.


Source : alkitab.mobi

Share:

Rabu

Berkat Tertinggi

 "Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan pada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan AnakNya, Yesus Kristus" [ I Yohanes 1:3 ].


Rasul Yohanes menyatakan bahwa tujuan pemberitaan Injil oleh para rasul adalah agar umat Tuhan memperoleh persekutuan ( koinonia ), baik dengan para rasul itu sendiri maupun dengan Bapa dan dengan AnakNya, Yesus Kristus. Apakah makna dari kata persekutuan, yang dalam bahasa Yunaninya adalah koinonia ? Kata koinonia bukan hanya berarti suatu persahabatan antara seseorang dengan yang lainnya. Makna kata koinonia lebih dalam dari pada itu. Koinonia adalah suatu kesatuan antara seseorang dengan yang lainnya. Konsep koinonia dalam Perjanjian Baru adalah suatu kesatuan atau suatu pertalian diantara orang percaya, yang tercipta karena penebusan dalam Kristus Yesus. Koinonia adalah kesatuan dalam Kristus.


Kisah Para Rasul mencatat bahwa karena memperoleh koinonia, jemaat mula-mula "tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama" [ 2:44 ]. Ini adalah berkat yang luar biasa yang Tuhan curahkan pada umatnya, yaitu kesatuan. Tetapi lambat laun kedagingan manusia menyusup kedalam sehingga berkat kesatuan ini hancur. Kita semua menyadari bagaimana saat ini kondisi umat Tuhan yang terpecah-belah.


Yang menarik dari ayat diatas adalah persekutuan itu merupakan persekutuan dengan Bapa dan dengan AnakNya. Bapa dan Anak adalah sesuatu yang berhubungan dengan keluarga. Jadi koinonia itu adalah sesuatu yang seharusnya ada didalam keluarga. Apabila suatu keluarga Kristen memperoleh koinonia yang sesungguhnya, maka keluarga itu adalah satu. Ini sesungguhnya adalah berkat tertinggi yang mungkin diperoleh dalam suatu keluarga.


Kebanyakan keluarga Kristen tidak mengejar berkat kesatuan ini. Salah satu sebabnya adalah karena banyak keluarga tidak menyadari bahwa sesungguhnya Allah adalah keluarga, dan bahwa Allah adalah satu. Allah ingin mengekspresikan diriNya didalam keluarga-keluarga di muka bumi ini. Inilah alasan utama Allah menciptakan keluarga dimuka bumi ini. Jika kita sebagai keluarga Kristen dapat melihat perkara ini dengan jelas, maka kita akan sungguh-sungguh mengejar berkat kesatuan ini.


Tetapi kesatuan keluarga ini tidak mudah dicapai, karena kesatuan yang dimaksud disini adalah kesatuan seperti yang ada pada Bapa, Anak dan Roh Kudus. Kesatuan ini adalah satu dalam pikiran, perasaan, dan kehendak. Anak-anak bukan saja tidak memberontak pada orang tua, tetapi mereka mempunyai pikiran, perasaan dan keinginan yang sama dengan orang tua. Isteri bukan mengalah dan mematahkan keinginannya sendiri agar dapat tunduk pada suami, tetapi isteri mempunyai keinginan yang sama dengan suaminya. Kesatuan dalam Kristus yang seperti ini, dapat dicapai walaupun tidak mudah. Karena kesatuan keluarga ini adalah berkat, bahkan kami percaya ini adalah berkat tertinggi yang dicurahkan Tuhan bagi umat pilihanNya. Semoga kita mengejar berkat ini dengan sepenuh hati.


Source: Gema Sion Ministry

Share:

Selalu Sabar

 Za 1-3;Why 17;Maz 145;Ams 30:10-20

Mazmur 145:8

Tuhan itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setia-Nya. (TB)


Ketika kita diberkati Tuhan, kita pasti mengalami sukacita yang meluap-luap. Misalnya, saat kita mendapatkan bonus dari kantor ataupun saat usaha kita mendapat pelanggan yang begitu banyak sampai mencapai omset yang besar. Pastilah kita bersukacita, sebab kita melihat kalau kita mendapatkan berkat-berkat yang lebih dari Tuhan. Dalam kondisi ini, kita dapat dengan mudah memujiNya sebagai pengasih dan penyayang. Namun apakah pujian tersebut masih terus kita naikkan ketika kita diperhadapkan dengan kesulitan, tantangan atau bahkan penderitaan dan kesakitan?

Mazmur 145:8 merupakan penegasan akan sifat Tuhan dan mengungkapkan kesukaanNya dalam memberikan kasih dan kemurahan hati Tuhan kepada manusia, khususnya kepada umatNya. Ayat ini sekaligus ingin mengatakan kepada kita bahwa Tuhan tidak tahan berdiam bila melihat anak-anaknya dalam kesulitan atau penderitaan. Ia juga tak mungkin menahan pengampunan ketika anak-anakNya memohon ampun karena menyadari kesalahan yang mereka perbuat. Tuhan juga pasti akan sabar bila kita melanggar hukum-hukumNya dan menunggu sampai kita menyadari dan bertobat.

Itulah sebabnya ayat di atas ditutup dengan pernyataan bahwa kasih setiaNya begitu besar. Oleh sebab itu respon yang utama yang tidak boleh kita lupa berikan kepada Tuhan adalah terus bersyukur dan memuji Dia apapun kondisi yang sedang kita hadapi. Dengan terus bersyukur dan memuji Dia menandakan bahwa kita percaya akan kasih setiaNya yang besar bagi kita. Bahwa Tuhan sungguh sayang kepada kita.

Dia selalu sabar dan besar kasih setia-Nya kepada kita sekalipun begitu banyak pelanggaran dan ketidak setiaan kita kepada Dia.


Source : Suka membaca Alkitab, GBI WTC

Share:

Matius 21

 Matius 21


Yesus dielu-elukan di Yerusalem


1 Ketika Yesus dan murid-murid-Nya telah dekat Yerusalem dan tiba di Betfage yang terletak di Bukit Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya


2 dengan pesan: "Pergilah ke kampung yang di depanmu itu, dan di situ kamu akan segera menemukan seekor keledai betina tertambat dan anaknya ada dekatnya. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah keduanya kepada-Ku.


3 Dan jikalau ada orang menegor kamu, katakanlah: Tuhan memerlukannya. Ia akan segera mengembalikannya."


4 Hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi:


5 "Katakanlah kepada puteri Sion: Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda."


6 Maka pergilah murid-murid itu dan berbuat seperti yang ditugaskan Yesus kepada mereka.


7 Mereka membawa keledai betina itu bersama anaknya, lalu mengalasinya dengan pakaian mereka dan Yesuspun naik ke atasnya.


8 Orang banyak yang sangat besar jumlahnya menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang memotong ranting-ranting dari pohon-pohon dan menyebarkannya di jalan.


9 Dan orang banyak yang berjalan di depan Yesus dan yang mengikuti-Nya dari belakang berseru, katanya: "Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosana di tempat yang mahatinggi!"


10 Dan ketika Ia masuk ke Yerusalem, gemparlah seluruh kota itu dan orang berkata: "Siapakah orang ini?"


11 Dan orang banyak itu menyahut: "Inilah nabi Yesus dari Nazaret di Galilea."


Yesus menyucikan Bait Allah


12 Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Ia membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati


13 dan berkata kepada mereka: "Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun."


14 Maka datanglah orang-orang buta dan orang-orang timpang kepada-Nya dalam Bait Allah itu dan mereka disembuhkan-Nya.


15 Tetapi ketika imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat melihat mujizat-mujizat yang dibuat-Nya itu dan anak-anak yang berseru dalam Bait Allah: "Hosana bagi Anak Daud!" hati mereka sangat jengkel,


16 lalu mereka berkata kepada-Nya: "Engkau dengar apa yang dikatakan anak-anak ini?" Kata Yesus kepada mereka: "Aku dengar; belum pernahkah kamu baca: Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu Engkau telah menyediakan puji-pujian?"


17 Lalu Ia meninggalkan mereka dan pergi ke luar kota ke Betania dan bermalam di situ.


Yesus mengutuk pohon ara


18 Pada pagi-pagi hari dalam perjalanan-Nya kembali ke kota, Yesus merasa lapar.


19 Dekat jalan Ia melihat pohon ara lalu pergi ke situ, tetapi Ia tidak mendapat apa-apa pada pohon itu selain daun-daun saja. Kata-Nya kepada pohon itu: "Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamanya!" Dan seketika itu juga keringlah pohon ara itu.


20 Melihat kejadian itu tercenganglah murid-murid-Nya, lalu berkata: "Bagaimana mungkin pohon ara itu sekonyong-konyong menjadi kering?"


21 Yesus menjawab mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu percaya dan tidak bimbang, kamu bukan saja akan dapat berbuat apa yang Kuperbuat dengan pohon ara itu, tetapi juga jikalau kamu berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! hal itu akan terjadi.


22 Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya."


Pertanyaan mengenai kuasa Yesus


23 Lalu Yesus masuk ke Bait Allah, dan ketika Ia mengajar di situ, datanglah imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi kepada-Nya, dan bertanya: "Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu?"


24 Jawab Yesus kepada mereka: "Aku juga akan mengajukan satu pertanyaan kepadamu dan jikalau kamu memberi jawabnya kepada-Ku, Aku akan mengatakan juga kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu.


25 Dari manakah baptisan Yohanes? Dari sorga atau dari manusia?" Mereka memperbincangkannya di antara mereka, dan berkata: "Jikalau kita katakan: Dari sorga, Ia akan berkata kepada kita: Kalau begitu, mengapakah kamu tidak percaya kepadanya?


26 Tetapi jikalau kita katakan: Dari manusia, kita takut kepada orang banyak, sebab semua orang menganggap Yohanes ini nabi."


27 Lalu mereka menjawab Yesus: "Kami tidak tahu." Dan Yesuspun berkata kepada mereka: "Jika demikian, Aku juga tidak mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu."


Perumpamaan tentang dua orang anak


28 "Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur.


29 Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi.


30 Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga.


31 Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?" Jawab mereka: "Yang terakhir." Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah.


32 Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya."


Perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur


33 "Dengarkanlah suatu perumpamaan yang lain. Adalah seorang tuan tanah membuka kebun anggur dan menanam pagar sekelilingnya. Ia menggali lobang tempat memeras anggur dan mendirikan menara jaga di dalam kebun itu. Kemudian ia menyewakan kebun itu kepada penggarap-penggarap lalu berangkat ke negeri lain.


34 Ketika hampir tiba musim petik, ia menyuruh hamba-hambanya kepada penggarap-penggarap itu untuk menerima hasil yang menjadi bagiannya.


35 Tetapi penggarap-penggarap itu menangkap hamba-hambanya itu: mereka memukul yang seorang, membunuh yang lain dan melempari yang lain pula dengan batu.


36 Kemudian tuan itu menyuruh pula hamba-hamba yang lain, lebih banyak dari pada yang semula, tetapi merekapun diperlakukan sama seperti kawan-kawan mereka.


37 Akhirnya ia menyuruh anaknya kepada mereka, katanya: Anakku akan mereka segani.


38 Tetapi ketika penggarap-penggarap itu melihat anaknya itu, mereka berkata seorang kepada yang lain: Ia adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisannya menjadi milik kita.


39 Mereka menangkapnya dan melemparkannya ke luar kebun anggur itu, lalu membunuhnya.


40 Maka apabila tuan kebun anggur itu datang, apakah yang akan dilakukannya dengan penggarap-penggarap itu?"


41 Kata mereka kepada-Nya: "Ia akan membinasakan orang-orang jahat itu dan kebun anggurnya akan disewakannya kepada penggarap-penggarap lain, yang akan menyerahkan hasilnya kepadanya pada waktunya."


42 Kata Yesus kepada mereka: "Belum pernahkah kamu baca dalam Kitab Suci: Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru: hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita.


43 Sebab itu, Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.


44 (Dan barangsiapa jatuh ke atas batu itu, ia akan hancur dan barangsiapa ditimpa batu itu, ia akan remuk.)"


45 Ketika imam-imam kepala dan orang-orang Farisi mendengar perumpamaan-perumpamaan Yesus, mereka mengerti, bahwa merekalah yang dimaksudkan-Nya.


46 Dan mereka berusaha untuk menangkap Dia, tetapi mereka takut kepada orang banyak, karena orang banyak itu menganggap Dia nabi.


Source : alkitab.mobi

Share:

Amsal 21

 Amsal 21


1 Hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini.


2 Setiap jalan orang adalah lurus menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.


3 Melakukan kebenaran dan keadilan lebih dikenan TUHAN dari pada korban.


4 Mata yang congkak dan hati yang sombong, yang menjadi pelita orang fasik, adalah dosa.


5 Rancangan orang rajin semata-mata mendatangkan kelimpahan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa hanya akan mengalami kekurangan.


6 Memperoleh harta benda dengan lidah dusta adalah kesia-siaan yang lenyap dari orang yang mencari maut.


7 Orang fasik diseret oleh penganiayaan mereka, karena mereka menolak melakukan keadilan.


8 Berliku-liku jalan si penipu, tetapi orang yang jujur lurus perbuatannya.


9 Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar.


10 Hati orang fasik mengingini kejahatan dan ia tidak menaruh belas kasihan kepada sesamanya.


11 Jikalau si pencemooh dihukum, orang yang tak berpengalaman menjadi bijak, dan jikalau orang bijak diberi pengajaran, ia akan beroleh pengetahuan.


12 Yang Mahaadil memperhatikan rumah orang fasik, dan menjerumuskan orang fasik ke dalam kecelakaan.


13 Siapa menutup telinganya bagi jeritan orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru.


14 Pemberian dengan sembunyi-sembunyi memadamkan marah, dan hadiah yang dirahasiakan meredakan kegeraman yang hebat.


15 Melakukan keadilan adalah kesukaan bagi orang benar, tetapi menakutkan orang yang berbuat jahat.


16 Orang yang menyimpang dari jalan akal budi akan berhenti di tempat arwah-arwah berkumpul.


17 Orang yang suka bersenang-senang akan berkekurangan, orang yang gemar kepada minyak dan anggur tidak akan menjadi kaya.


18 Orang fasik dipakai sebagai tebusan bagi orang benar, dan pengkhianat sebagai ganti orang jujur.


19 Lebih baik tinggal di padang gurun dari pada tinggal dengan perempuan yang suka bertengkar dan pemarah.


20 Harta yang indah dan minyak ada di kediaman orang bijak, tetapi orang yang bebal memboroskannya.


21 Siapa mengejar kebenaran dan kasih akan memperoleh kehidupan, kebenaran dan kehormatan.


22 Orang bijak dapat memanjat kota pahlawan-pahlawan, dan merobohkan benteng yang mereka percayai.


23 Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran.


24 Orang yang kurang ajar dan sombong pencemooh namanya, ia berlaku dengan keangkuhan yang tak terhingga.


25 Si pemalas dibunuh oleh keinginannya, karena tangannya enggan bekerja.


26 Keinginan bernafsu sepanjang hari, tetapi orang benar memberi tanpa batas.


27 Korban orang fasik adalah kekejian, lebih-lebih kalau dipersembahkan dengan maksud jahat.


28 Saksi bohong akan binasa, tetapi orang yang mendengarkan akan tetap berbicara.


29 Orang fasik bermuka tebal, tetapi orang jujur mengatur jalannya.


30 Tidak ada hikmat dan pengertian, dan tidak ada pertimbangan yang dapat menandingi TUHAN.


31 Kuda diperlengkapi untuk hari peperangan, tetapi kemenangan ada di tangan TUHAN.


Source : alkitab.mobi

Share:

Arsip Blog