Berisi Alkitab dan Renungan Harian Kristen

Rabu

Pandangan Ernst Troeltsch tentang Keunikan Calvinisme

 Penulis : Hendry Ongkowidjojo

Jika kita menoleh ke belakang, kita mungkin tidak lagi merasa terlalu heran dengan kondisi saat ini karena di sepanjang sejarahnya, Gereja memang tidak sering berhasil melakukan perannya di tengah-tengah dunia. Namun demikian, tidak selamanya hal ini benar. Masih ada masa- masa dimana Gereja berhasil menjalankan tugasnya, dimana dampaknya masih dapat dirasakan bahkan hingga saat ini. Salah satunya ialah di masa Reformasi.


Seperti yang Schaeffer katakan di dalam bukunya How Should We Then Live, masa Reformasi memang tidak dapat disebut sebagai masa keemasan. Ia berpendapat bahwa masa Reformasi "jauh dari sempurna, dan dalam beberapa hal tokoh-tokoh reformasi bertindak secara tidak konsisten dengan pengajaran Alkitab...

Akan tetapi, tetap tidak dapat dipungkiri bahwa keberlangsungan Kekristenan sangat bergantung kepada gerakan ini. Seperti yang juga diakui oleh Schaeffer bahwa "Meskipun memang terdapat beberapa kelemahan yang serius di dalamnya namun gerakan Reformasi telah kembali kepada instruksi-instruksi Kitab Suci dan kepada contoh dari Gereja mula-mula."

Satu hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa semua ini dicapai bukanlah di saat Gereja berada di jaman keemasan, namun justru di saat Gereja berada di titik terendah di sepanjang sejarah keberadaannya. Pada awal abad ke-16, Gereja sungguh berada di dalam kondisi yang parah dan sangat membutuhkan pembaharuan total. Salah satu contoh kecil dari kebobrokan itu dapat dilihat dari catatan sejarah tentang Uskup Agung Antoine du Prat yang muncul hanya sekali dalam upacara ibadah di katedralnya, yaitu di saat upacara penguburannya!

Dengan latar belakang yang serba tidak menguntungkan inilah, Gerakan Reformasi lahir dan berhasil tumbuh menjadi suatu kekuatan tandingan yang besar bagi Roma Katolik, sebuah kekuatan yang sanggup mengubah jalannya sejarah gereja dan sejarah dunia.

Reformasi dapat dikatakan dibentuk oleh dua aliran besar, yaitu aliran Calvinis dan Lutheran, yang disamping mempunyai kesamaan, juga mempunyai berbagai pengajaran yang berbeda. Namun demikian, teologia Calvin lah yang kemudian lebih terbukti memberikan pengaruh sosial kepada dunia ini. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini kita akan mencoba untuk melihat apakah keunikan yang ada di dalam diri dan pengajaran John Calvin.

PENGARUH PRIBADI CALVIN

Pertama-tama, keunggulan ini nampaknya dapat ditelusuri sumbernya dari dalam diri Calvin sendiri.

William J. Bouwsma dalam ulasannya yang baik tentang Calvin dan ajarannya berkata bahwa seperti halnya para tokoh humanisme Renaissance pada waktu itu, Calvin pun percaya bahwa jamannya telah dicengkeram oleh krisis moral dan spiritual dimana pemecahannya menuntut ia untuk mengerahkan seluruh kekuatannya. Oleh sebab itu, Calvin tidak beranggapan bahwa panggilan hidupnya adalah sebagai teolog. Ia mempunyai hal yang lebih penting untuk dilakukan.

PENGARUH PENGAJARAN CALVIN

Tetapi jelas bahwa Calvin tidak hanya memberikan teladan hidup namun juga sebuah sistematika pengajaran. Ernst Troeltsch dalam magnum opusnya yang berjudul, The Social Teaching of the Christian Churches, menjabarkan lima karakteristik Teologia Cavin yang unik dan yang tidak dimilki baik oleh teologi Roma Katolik maupun teologi Lutheran, yaitu: predestinasi, peranan individu, komunitas kudus, etika Calvinisme dan pandangan sosial Calvinisme. Kelima hal inilah yang akan menjadi kerangka dasar kita di dalam mencoba untuk mengerti mengapa Calvin dapat menjadi sebuah dorongan yang besar bagi orang percaya masa itu.

Predestinasi:

Menurut Troeltsch, keunikan pertama yang dimiliki oleh Calvin adalah pandangannya tentang predestinasi. Meskipun Troeltsch berkata bahwa Calvin berhutang pada Luther dalam hal ini namun ia juga melihat bahwa di balik doktrin Calvin tentang predestinasi, terdapat suatu pandangan yang unik tentang Allah. Calvin tidak sekedar ingin menekankan anugerah cuma-cuma di dalam predestinasi, tetapi ia juga mencoba untuk menyatakan karakter Allah sebagai Yang Berdaulat Mutlak. Bagi Calvin, kedaulatan mutlak Allahlah yang menentukan siapakah yang akan dipilih dan siapa yang dibiarkan binasa, dan dalam hal ini akal manusia harus tunduk tanpa perlu berusaha bertanya lebih lanjut tentang mengapa si A dipilih dan si B tidak.

Troeltsch kemudian membandingkan karakter Allah yang paling ditekankan oleh Lutheran dengan karakter Allah yang oleh Calvin dianggap sebagai yang terutama. Ia menyimpulkan bahwa jika di dalam Lutheran, karakter Allah yang paling utama adalah kasih-Nya maka bagi Calvin, kasih Allah hanyalah salah satu metode untuk menyatakan kemuliaan Allah.

Baik mereka yang dipilih maupun yang dibiarkan binasa, sama-sama menyatakan kemuliaan Allah. Mereka yang dipilih merupakan simbol dari belas kasihan Allah dan mereka yang binasa merupakan simbol dari murka Allah.

Ini jelas tidak berarti Calvin memandang remeh kasih Allah. Phillip Wogaman berkata bahwa bagi Calvin: "Allah adalah Allah yang mulia dan juga penuh kasih. Kemuliaan Allah sesungguhnya diekspresikan secara paling penuh dan paling khas melalui kasih."

Alasan mengapa sebagian dipilih dan sebagian tidak memang tetap merupakan misteri dari kehendak Allah yang tak terselami. Namun, menurut Calvin tanpa mengontraskan keselamatan dengan penghukuman, maka kebesaran kemuliaan Allah dan bahkan kedalaman kasihNya, akan tetap tinggal tersembunyi dari kita.

Perbedaan konsep tentang Allah ini ternyata membawa perbedaan yang besar di dalam hal praktis. Karena keselamatan bukan semata-mata untuk menyatakan belas kasihan Tuhan, tetapi yang terutama adalah untuk memuliakan Dia, maka tujuan dari keselamatan pun bukan sekedar supaya jiwa yang telah diselamatkan dapat hidup di dalam dunia ini dengan penuh damai dan ucapan syukur, tetapi supaya jiwa yang telah dibebaskan dari dosa itu melayani Dia sebagai instrumen dari KehendakNya.

Oleh karena itu, jika di dalam Lutheran, bukti keselamatan yang sejati terletak pada perasaan bahagia yang tidak dapat diberikan oleh dunia maka menurut Calvin, pembenaran tidak tinggal di dalam batin atau di kedalaman perasaan melainkan di dalam tindakan. Jika di dalam Lutheran, kesatuan dengan Kristus di dalam sakramen Ekaristi merupakan bukti tertinggi kebahagiaan maka menurut Calvin, kesatuan dengan Kristus hanya dapat dimengerti di dalam arti penyerahan diri kaum pilihan, pembaharuan kehendak Allah dan tindakan Allah yang terus-menerus aktif di dalam diri orang percaya. Selain itu, Alkitab juga tidak lagi dipandang melulu sebagai sarana untuk memperoleh jaminan akan kasih Tuhan, tetapi sebagai manifestasi yang seharusnya menciptakan komunitas yang di dalamnya kemuliaan Allah dapat direalisasikan.

Peranan Individu:

Troeltsch melihat bahwa Luther tidak lebih lanjut mengembangkan ajaran predestinasinya sehingga Lutheran masih menganggap bahwa keselamatan yang telah diperoleh dapat hilang, baik saat orang percaya jatuh kepada dosa maut atau saat ia bersandar pada kekuatannya sendiri. Akibatnya, yang ditekankan adalah bagaimana orang percaya dapat mempertumbuhkan kehidupan rohaninya.

Akan tetapi tidak demikian halnya dengan para pengikut Calvin. Mereka percaya bahwa panggilan dan keselamatan telah dipastikan sehingga dengan itu mereka bebas untuk berkonsentrasi memikirkan bagaimana membentuk dunia dan masyarakat seturut kehendak Allah. Mereka sadar bahwa tugas mereka bukanlah untuk memelihara "ciptaan baru" namun untuk menyatakannya.

Dari sini Troeltsch menyimpulkan bahwa individualisme di dalam Reformed lebih mendorong kepada aktivitas, dimana masing-masing individu didorong untuk masuk ke dalam tugas pelayanan di dalam dunia: "Sebagai orang pilihan, individu di dalam dirinya sendiri tidaklah bernilai apa-apa, namun sebagai instrumen yang digunakan bagi tugas Kerajaan Allah, nilainya amat lah besar".

Komunitas Kudus:

Bagi Calvin, Gereja bukanlah sekedar menyediakan sarana anugerah melalui mana segala sesuatu harus dibangun. Gereja sesungguhnya juga merupakan titik pijak melalui mana kefasikan dunia harus ditanggulangi dengan kesabaran dan kerendahan hati. Gereja harus menyediakan sarana-sarana pengudusan. Gereja harus berusaha agar komunitas menerima nilai-nilai Kristen sehingga seluruh aspek kehidupan dapat ditempatkan di bawah kontrol prinsip-prinsip Kekristenan.

Di lain pihak, penekanan Luther pada doktrin keimamatan seluruh orang percaya membuatnya harus menarik diri dari usaha untuk merealisasikan otonomi Gereja dari negara. Hal ini dikarenakan doktrin keimamatan seluruh orang percaya amat memutlakkan kebebasan individu sehingga dapat dengan mudah membawa akibat sampingan berupa gerakan revolusioner. Oleh sebab itu Luther lebih memilih untuk puas dengan memastikan bahwa doktrin yang sejati dapat tetap diproklamasikan walaupun harus dengan cara bergantung pada kuasa pemerintahan.

Berbeda dengan Luther, Calvin lebih tertarik pada ba119mana membuat kontrol dan usaha pengudusan Gereja dapat menjadi efektif.

Troeltsch mencatat bahwa yang penting disini adalah keyakinan Calvin bahwa dalam usaha pengudusan ini pun, Alkitab akan menyediakan dukungan dan nasehat yang ia butuhkan.

Dengan menekankan komunitas kudus dan dengan adanya penghargaan sedemikian terhadap Alkitab (dan bukannya doktrin keimamatan seluruh orang percaya), maka Calvin berhasil menghindar dari ekses-ekses revolusi serta dari bahaya subyektifitas agama. Partisipasi jemaat dimungkinkan tetapi di dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Kitab Suci, di dalam hierarki yang telah ditetapkan, sehingga doktrin keimamatan seluruh orang percaya dapat tetap terus berjalan tanpa membawa musibah dan tanpa adanya bahaya dibelokkan kepada sekularisme.

Etika Calvinisme:

Troetsch menggarisbawahi tiga pandangan unik yang mendasari prinsip etika Calvinisme, yaitu

Pandangan Calvin tentang peran Sepuluh Perintah Allah,

Ajarannya tentang progresif sanctification dan

Kehidupan asketis yang didasarkan atas pandangan yang terarah pada kehidupan di masa yang akan datang, dan atas pemisahan secara jelas antara Allah dan ciptaan.

Berkenaan dengan Sepuluh Perintah Allah sebagai standar etika, ada dua hal yang menurut Troeltsch menjaga Calvin sehingga tidak jatuh kepada legalisme hukum Taurat, yaitu penegasan Calvin bahwa:

Yang dinyatakan di dalam Hukum Taurat adalah isi iman di dalam aspek etikanya dan

Nilai dari suatu pencapaian secara moral tidak ditentukan oleh satu atau dua tindakan, melainkan terletak di dalam jiwa yang telah dilahirbarukan, yaitu di dalam perubahan hati secara menyeluruh melalui pertobatan.

Melalui Hukum Taurat, Roh Kudus menerangi orang pilihan sehingga mereka dapat mengerti bagaimana mereka harus hidup demi untuk merealisasikan Kerajaan Kristus. Bagi Calvin, hal ini tidak dapat begitu saja dibiarkan tergantung pada kebebasan orang Kristen, sehingga dalam hal ini ia meninggalkan kebebasan idealistik yang dipegang oleh Luther dan menegaskan bahwa manusia masih membutuhkan adanya otoritas.

Selain keunikan pengajaran Calvin tentang hukum, pengajarannya tentang progressive sanctification juga berperan besar di dalam pembentukan etika Calvinisme. Doktrin ini menyatakan bahwa anugerah keselamatan semakin lama akan semakin disadari artinya oleh orang percaya dan semakin lama akan semakin membawa mereka kepada kedewasaan kehidupan Kristen.

Namun bagi Troeltsch, masih ada satu hal lagi yang merupakan sumbangan terbesar Calvin dalam etika, yaitu berkenaan dengan kehidupan asketis yang dihasilkan oleh pengharapan akan masa depan dan oleh pemisahan secara jelas antara Allah dan ciptaan. Keunikan dari asketisme Calvin adalah karena ia justru bersikap yang amat positif terhadap pekerjaan orang percaya. Ini merupakan pandangan yang amat berbeda terhadap asketisisme yang selama ini selalu amat merendahkan nilai-nilai kehidupan di dalam dunia dan amat berhasrat untuk mengekang kehidupan daging dengan menggunakan serangkaian sistem disiplin. Di dalam Katolik, asketisisme seperti ini memunculkan kehidupan biara.

McGrath menyoroti pandangan Calvin yang berkata bahwa pengenalan akan Allah Sang Pencipta tidak dapat dipisahkan dari pengenalan ciptaan.

Orang-orang Kristen diharapkan memperlihatkan penghargaan, keprihatinan dan komitmen pada dunia oleh karena kesetiaan, ketaatan dan cintanya kepada Allah. Dengan demikian, menjadi seorang Kristen tidak dapat berarti meninggalkan dunia, sebab meninggalkan dunia berarti meninggalkan Allah yang secara ajaib telah menciptakannya. Akan tetapi di lain pihak, karena ia dengan jelas membedakan Allah dengan dunia ciptaan maka bagi dia, usaha apapun untuk mencari kepuasan di dalam ciptaan merupakan suatu tindakan pemberhalaan. Calvin selalu menekankan bahwa ciptaan adalah sarana dan bukan tujuan akhir. Menurut Wogaman, Calvin memang menghargai milik pribadi namun baginya, semua kekayaan pribadi harus dipergunakan bagi kemuliaan Allah.

Inilah alasan mengapa orang Calvinis berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam politik, namun bukan demi politik itu sendiri, berjuang di dalam ekonomi, tetapi bukan demi kemakmuran itu sendiri.

Pandangan Calvin akan hal ini tidak hanya unik jika dibandingkan dengan Katolik tetapi juga berbeda dengan pandangan Luther. Lutheran menangisi dunia ini dan kemudian menerimanya apa adanya sambil terus menjaga diri mereka dari pengaruh dunia. Bagi mereka, dunia berdosa memang sudah seharusnya mempunyai kondisi yang seperti ini.

Calvin menolak sikap seperti ini. Ia tidak dapat meninggalkan dunia ini di dalam kengeriannya sementara ia menenangkan diri karena telah menerima anugerah keselamatan. Fakta bahwa ciptaan adalah ciptaan yang berdosa justru semakin mendorongnya bekerja keras untuk menaklukkannya demi kemuliaan Tuhan. Akan tetapi, Calvin sadar bahwa dunia hanya dapat ditaklukkan dengan cara terlebih dahulu menyadari nilai dari kehidupan di dalam dunia. Jadi, kita harus masuk ke dalam dunia, menyadari semua sarana sekular yang ada, namun kemudian memakai semua itu hanya semata-mata sebagai alat untuk menciptakan komunitas kudus.

McGrath menilai tansformasi historis dari status kerja ini amatlah mengagumkan. Kerja yang dahulunya dipandang sebagai suatu kegiatan yang merendahkan martabat, sekarang menjadi cara yang berharga dan mulia untuk memuji dan mengakui Allah.

Oleh karena itu bukanlah hal yang kebetulan bila daerah-daerah Eropa yang menerima Calvinisme segera menjadi negara-negara yang makmur secara ekonomis sehingga Weber sampai menyimpulkan adanya hubungan antara Calvinisme dengan kapitalisme.

Teori Sosial Calvinisme:

Troeltsch melihat bahwa bagi Calvin, Negara dan Gereja masing-masing independen, namun karena tunduk kepada Allah maka masing-masing harus saling melayani. Gereja dan Pemerintahan sangat terkait dan saling mempengaruhi satu dengan lain.

Troeltsch kemudian mengaitkan predestinasi dengan teori sosial Calvin. Predestinasi ternyata dapat menyeimbangkan penekanan Calvin terhadap aspek individu dan komunitas. Berkenaan dengan aspek individu, predestinasi memberikan keyakinan terhadap para Calvinis akan harga diri mereka sebagai pribadi yang dipilih dari sejumlah besar orang. Jadi, mereka sadar bahwa mereka hanyalah minoritas, namun mereka juga sadar bahwa suara minoritas yang terdiri dari orang-orang kudus sesungguhnya dipanggil untuk mengatur mayoritas masyarakat yang adalah orang berdosa. Namun demikian, karena mereka percaya bahwa otoritas juga merupakan penetapan Allah maka selama pemerintah tidak melanggar Firman, mereka harus mau merendahkan diri dan taat.

Berkenaan dengan aspek komunitas, predestinasi menegaskan bahwa Allah tidak hanya sekedar menetapkan individu-individu tertentu untuk diselamatkan dan kemudian membiarkan mereka bertumbuh sendiri-sendiri. Allah ternyata juga menetapkan untuk meletakkan orang percaya di tengah-tengah jemaat sehingga mereka dapat saling mendorong dan menasehati satu sama lain.

REFLEKSI UNTUK HARI INI

Satu kecelakaan besar yang terjadi pada akhir-akhir ini adalah karena mayoritas orang Kristen tidak lagi dapat melihat relevansi dari apa yang Alkitab katakan dengan kehidupan mereka sehari-hari, seolah-olah Alkitab diberikan hanya sekedar untuk menuntun mereka agar mereka dapat berbagian di dalam kehidupan yang akan datang. Namun demikian Calvin telah memperlihatkan bahwa Alkitab tidak hanya berbicara mengenai kehidupan nanti di dunia sana, tetapi juga kehidupan saat ini disini. Bahkan seorang Liberal seperti Troeltsch harus mengakui bahwa doktrin seperti predestinasi ternyata berdampak besar di dalam kehidupan sosial. Semangat inilah yang harus kembali dihidupkan di dalam diri jemaat. Firman digali bukan demi untuk penemuan itu sendiri, demikian pula doktrin diajarkan bukan untuk pengajaran itu sendiri, namun untuk memperlengkapi orang Kristen agar dapat semakin memuliakan Tuhan di dalam kehidupannya hari lepas hari, sehingga kalimat "gereja ada di dalam dunia tetapi dunia bahkan tidak sadar jika gereja ada di dalamnya" tidak akan pernah lagi terucap.

Source : artikel.sabda.org

Share:

Arsip Blog